Sabtu, 11 Juni 2011

Jingga Untuk Matahari (my creation) part 3


           
            





            Ari melirik arloji di tangannya. Jam menunjukkan pukul 16.00. Ari tersenyum tipis lalu buru-buru keluar dari kamarnya yang ada di lantai 2. Dengan langkah ringan, ia menuruni anak-anak tangga rumahnya yang mewah itu. Seperti biasa, tak ada orang lain di rumah selain Ari. Seminggu yang lalu, Ari memang bertemu dengan papanya. Namun, sekarang ia kembali tak tau ayahnya sedang berada dimana. Memang selalu begitu. Saat Ari ada di rumah, papanya tidak. Tapi saat papanya ada di rumah, malah Ari yang entah kemana. Dan meskipun mereka sedang bersama-sama berada di rumah, hampir tidak ada komunikasi yang terjadi. Jadi dapat dipastikan, rumah itu bahkan lebih sepi dari hutan belantara.
            Namun sore ini, Ari tidak peduli tentang bagaimana sepinya keadaan rumah yang ia tempati itu. Pikirannya saat ini hanya dipenuhi oleh isi sms mamanya tadi malam. Mamanya dan Ata akan tiba di Jakarta sore ini. Itulah mengapa dari tadi semenjak di sekolah pun Ari sudah tidak sabar untuk menjemput mama dan Ata di bandara. Sebenarnya, mama dan Ata tiba sejam lagi. Namun, Ari yang sudah sangat ingin bertemu mamanya, tidak ingin datang terlambat untuk menjemput.
            Ari mengeluarkan mobil dari garasi. Everest hitam yang juga punya banyak kenangan bersama Tari. Ia mengendarai mobil dengan hati yang sudah sangat ingin meluapkan rasa rindu dan tak sabar ingin bertemu mama dan Ata.
             Akhirnya, Ari tiba di bandara 15 menit sebelum pesawat yang membawa dua orang yang sangat ia sayangi itu tiba. Ari memutuskan untuk duduk dan menunggu sambil ditemani sebuah minuman kaleng merek terkenal.
            Lima belas menit berlalu. Ari berdiri dengan tak sabar dan memperhatikan setiap penumpang pesawat yang baru saja keluar dari pintu bandara kedatangan dalam negeri. Senyumnya seketika melebar saat mendapati sosok mama dan Ata yang berjalan ke arahnya.
            “Udah lama nunggu, Ri?” Tanya mama ketika sudah berjarak sangat dekat dengan Ari. Didekapnya kembar bungsunya itu dengan erat.
            “Nggak kok, ma..’ jawab Ari yang langsung menyambut dekapan hangat dari sang mama.
            “Kamu sehat, nak?” Tanya mama lagi sambil mengusap pipi Ari lembut.
            “Sehat dong. Mama juga, kan?”
            Mama mengangguk pelan sambil tersenyum. Sorot matanya menggambarkan kerinduan yang dalam pada salah satu putra kembarnya itu.
            “Oh… Jadi gue dicuekin nih?” Ata tiba-tiba nimbrung sambil belagak ngambek.
            “Hahhaha.. Kangen lo yah ama gue??” kata Ari pede. Lalu merangkul Ata.
            “Wah… Pede amat lo!” jawab Ata sambil tertawa geli. Mama hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah lucu dua putra kesayangannya itu.
            “Ya udah.. yuk! Tante Lidya dari tadi udah ngeSMS. Dia udah masak banyak untuk mama ama lo!” kata Ari kemudian.
            Tak lama, ibu dan dua anak kembarnya itu berjalan menuju mobil. Mereka pun menuju ke rumah tante Lidya , yang dari tadi sudah menunggu 3 orang yang sudah ia anggap keluarga itu.
            Kedatangan mama dan Ata ke Jakarta memang membuat Ari sangat girang. Apalagi, mamanya kemudian memberi tahu bahwa ia dan Ata akan kembali menetap di Jakarta. Agar mereka bisa lebih sering bertemu dan lebih dekat dengan Ari.
            Untuk itu, Ari sudah mencarikan sebuah rumah untuk Ata dan mamanya. Rumah yang tidak jauh dari kompleks perumahan tante Lidya. Rumah itu berukuran tidak terlalu besar. Hanya terdiri dari 2 kamar tidur. Ada sebuah taman kecil di halaman depannya dan dilengkapi pagar yang tidak terlalu tinggi. Rumah itu sendiri akan ditempati mama dan Ata mulai minggu depan. Jadi untuk sementara, mama dan Ata akan tinggal di rumah tant Lidya.
            Awalnya, Ari menyodorkan sebuah rumah yang lebih bagus. Namun, mamanya menolak. Mama lebih memilih untuk tinggal di rumah kontrakan yang tidak terlalu luas itu. Ari pun hanya bisa menuruti kata-kata sang mama. Dan setelah dilihat-lihat, rumah itu memang cukup enak untuk ditinggali. Kompleksnya tidak terlalu dekat dengan jalan raya. Sehingga, tidak terlalu bising oleh suara kendaraan. Rumahnya juga cukup sejuk dan asri. Dan yang paling penting adalah ada kehangatan seorang ibu di dalamnya. Ada rasa nyaman dari sebuah keluarga, yang selama ini tidak pernah didapatkan Ari dari rumah mewahnya di SISTINE.
            Dari awal Ari memang belum berniat untuk membawa mama dan Ata untuk pulang ke rumah.nya di SISTINE. Ia menunggu waktu yang tepat untuk mempertemukan kembali papanya dengan mama dan Ata. Namun, Ari sudah sangat senang karena mama dan Ata kini sudah bisa kembali tinggal di Jakarta. Paling tidak, ia masih bisa tinggal bersama mama dan Ata di rumah kontrakan yang baru, atau pulang balik rumah papa dan mamanya.
            Ata sendiri akan pindah sekolah ke Jakarta. Ari sebenarnya menawarkan agar Ata juga bersekolah di SMA Airlangga sama sepertinya. Namun, Ata lebih memilih untuk bersekolah di SMA lai, untuk menghindari kegemparan sperti yang terjadi beberapa waktu lalu, saat Ari mengajaknya berkunjung ke Airlangga.
            Jadilah Ari saat ini seolah menemukan kembali dirinya yang sebenarnya. Ari yang punya keluarga, Ari yang bisa merasakan kembali kasih sayang dan kehangatan seorang ibu, Ari yang punya saudara kembar yang lama hilang, Ari yang tak lagi kesepian seperti dulu, dan Ari yang menemukan senyum dan tawanya kembali. Bukan senyum dan tawa yang biasa ia gunakan sebagai ‘topeng’ di depan orang lain. Tapi, senyum dan tawa yang sebenarnya.
***

            Jam menunjukkan pukul 6 sore lewat. Ari dan Ata pamit pada mama dan tante Lidya untuk keluar rumah. Ari mengajak Ata untuk bermain futsal bersama Oji, Ridho dan teman- teman nya yang lain. Oji sendiri tadi sudah mengirim SMS pada Ari, bahwa ia sudah tiba duluan di tempat futsal.
            Sebelum-sebelumnya, Ari sering mengajak teman-temannya bermain futsal untuk memecah kesepian dalam dirinya dan membuang kepenatan yang ada. Bermain hingga larut malam untuk menghindari kata ‘pulang’, karena memang tak akan menjumpai siapapun di rumah.
            Namun, kali ini berbeda. Ari mengajak teman-temannya bermain futsal, dan sudah janji akan mentraktir makan setelah itu, untuk merayakan kedatangan mama dan Ata ke Jakarta. Oji dan Ridho sendiri, sudah diberitahu Ari tentang kabar kepindahan Ata dan mamanya.
            Mobil terus melaju di jalanan yang tidak terlalu macet. Ari mengendarai mobil tidak terlalu kencang.
            “Lo udah jadian sama dia?” Tanya Ata tiba-tiba pada Ari. Ari yang terkejut dengan pertanyaan Ata, sedikit mengerem mobil mendadak.
            “Maksud lo?” Ari balik bertanya saat laju mobil telah kembali stabil.
            “Tari… Cewek yang kemaren lo kenalin ke gue dan mama di bandara. Lo pacaran ama dia?” Ata mengulang pertanyaan dengan lebih jelas.
            “Kok lo mikir gitu?”
            “Soalnya, lo keliatan care banget ama tuh cewek.”
            “Kenapa? Cemburu lo?” ujar Ari dengan mimik muka lucu.
            “Wahhh… Cemburu ama lo? Kagak deh ya!” jawab Ata sambil tertawa. “Gue serius ini, Ri…”
            “Gue belum jadian ama Tari.” jawab Ari jujur.
            “Tapi kayaknya udah keliatan deket banget.”
            “Emang keliatan gitu ya? Gue juga nggak tau sejak kapan perasaan gue ke dia muncul. Waktu pertama ketemu, gue kaget karena dia punya nama yang sama ama lo. Gue putusin untuk deketin dia dengan segala cara, supaya gue bisa menghidupkan kembali mama dan lo melalui Tari. Awalnya semua gue lakuin ‘pure’ karna gue kangen ama lo dan nyokap. “ ujar Ari panjang lebar sambil mengingat kembali awal mula pertemuannya dan Tari.
            “Jadi , lo nggak beneran suka ama dia? Hanya karna sebuah nama yang kebetulan sama aja?”
            “Awalnya gue nggak sadar.. Tapi semua kemudian berubah. Gue jadi ngerasain hal yang sebelumnya nggak pernah gue rasain. Dia bisa banget buat gue jadi nggak karuan dan nggak bisa ngontrol emosi gue. Mungkin kedengarannya lebay banget. Seorang Ari kayak gue bisa kayak gitu hanya karna seorang cewek yang tiba-tiba nongol dengan menyandang nama ‘Matahari’.” ujar Ari mendengus geli.
            “Gue udah denger track record lo yang buruk!” ejek Ata bercanda. Ari ikut tertawa.
            “Beberapa kali dia nunjukin sikap penolakan yang terang-terangan ama gue. Dia sering banget menghindar dari gue dan marah-marah ama gue di depan umum. Tapi gue tetep bandel untuk deketin dia. Sampe akhirnya, sekarang dia udah mulai nggak ‘lari’ lagi dari gue.”
            “So, sekarang lo bakal ngapain?”
            “Yang gue tau, sekarang gue pengen dia jadi milik gue. Gue pengen ngelindungin dia, nggak buat dia nangis lagi, dan ngejagain dia.” kata Ari dengan intonasi suara yang tegas.
            “Itu bener… Mulai sekarang lo emang harus lebih menjaga Tari” ujar Ata pelan.
            “Maksud lo?” Tanya Ari bingung.
            “ Yah.. biar dia nggak lari lagi dari lo.. Jadi lo harus lebih jagain tuh cewek!” ujar Ata ngeles.
            Tak lama kemudian mobil Ari pun berhenti. Mereka sudah sampai di tempat futsal indoor yang biasa dipakai Ari dan teman-temannya. Motor Oji sudah tampak parkir di sana.
            Pembicaraan pun selesai sampai disitu. Tanpa Ari, pentolah sekolah itu tau bahwa saudara kembarnya sendirilah yang sebentar lagi akan membuat ‘Jingga Matahari’ nya menangis.
***

            Tari membolak-balik buku kimianya dengan gusar. Sudah sejak tadi ia berkutat di meja belajar dengan ditemani tugas-tugas mata pelajaran kima yang menumpuk. Entah mengapa malam ini Tari nggak bisa konsen dengan pelajarannya. Ia memang bisa dibilang ‘payah’ dalam mata pelajaran eksak yang satu ini. Tapi biasanya, dia masih bisa mengerjakan paling tidak setengah dari jumlah soal yang diberikan. Yah, walaupun tidak menjamin semua soal yang dikerjakan benar.
            Soal-soal tentang ‘kesetimbangan reaksi’ itu jadi semakin tidak menarik karena seseorang yang dari tadi terus saja muncul di dalam pikiran Tari. Sosok pentolan sekolah yang menempatkan diri pada puncak piramid hierarki kesiswaan SMA Airlangga. Raja tawuran yang tidak pernah takut dengan medan tempur yang penuh bahaya. Siswa paling bermasalah di sekolah dan kerap berbuat seenaknya, serta tidak pernah peduli pada omelan dan hukuman dari guru-guru bahkan kepala sekolah.
            Saat ini, hubungan Tari dan Ari makin membaik. Tidak pernah lagi ada tontonan gratis berjudul ‘duel Ari-Tari’ di sekolahan. Ari pun kerap mengantar-jemput Tari ke sekolah. Pemandangan Tari yang dijaili oleh Ari dan teman-temannya pun tidak pernah terlihat lagi. Hal itu kontan saja menimbulkan pertanyaan bagi seluruh siswa SMA Airlangga, apakah dua ‘Matahari’ itu sudah resmi jadian atau belum. Semua memang hanya bisa dijawab oleh Ari dan Tari sendiri.
            Tari tak bisa bohong kalo kini Ari memang banyak berubah. Dan perlahan mulai disadarinya, bahwa ada sesuatu yang berbeda dengan hatinya saat ini. Perlahan tapi pasti pula, jagoan sekolah itu telah kembali mendapatkan tempat dihatinya. Ia bisa merasakan hal yang sama, seperti pada saat Ari bertindak sebagai ‘pahlawan’ dan menolongnya saat pertama bertemu dulu. Ia kembali pada penilaian awalnya bahwa ‘Ari itu sebenarnya baik’. Tari bisa merasakan ada bagian yang luruh dalam hatinya jika melihat Ari atau berada di dekat Ari. Ia bisa merasakan jantungnya memompa lebih cepat, saat Ari melakukan hal-hal tak terduga.
            Seperti seminggu yang lalu saat Ari tiba-tiba mendekapnya menuju taksi, sepulang sekolah. Saat itu hujan, jadi Ari membiarkan Tari pulang naik taksi agar tidak kebasahan jika diantar pulang dengan motor. Atau saat  Ari memasangkan jaketnya pada Tari, agar Tari tidak kepanasan sewaktu dibonceng naik motor.  Tapi yang paling membuat Tari salah tingkah adalah peristiwa tiga hari yang lalu.

            Tari stress berat karena  nilai ujian matematikanya anjlok banget. Ia seharian duduk di kelas dan bahkan tidak pergi ke kantin pas jam istirahat. Ari yang tau kalo Tari suka ice cream, langsung cabut pas jam pelajaran ke 5. Ia membeli ice cream satu cup gede banget, yang pastinya mahal dan enak. Ia mem berikan ice cream itu pada Tari pas jam istirahat ke-2. Setelah meletakkan ice cream di atas meja, Ari mengacak-acak rambut Tari lembut dan tersenyum sambil bilang, “ Lain kali, kalo belum ngerti Tanya gue aja. Ntar gue ajarin sampe bisa.” Melihat tindakan Ari itu, kontan saja semua temen cewek Tari satu kelas pada iri banget. Dan mungkin dalam hati masing-masing pada teriak “GUE RELA MATI DEMI KAK ARI!” ^^ Ya iyalah.. Siapa juga yang nggak mau dikasih ice cream mahal segede gitu? Udah gitu, dijanjiin bakal diajarin matematika pula! Dan yang ngelakuain adalah ARI! Cowok paling TOP satu sekolahan!
            Lamunan panjang Tari tiba-tiba buyar karna suara ketukan pintu dari luar. Pintu kamar itu terbuka, dan mama Tari kemudian masuk ke dalam.
            “Lagi belajar?” Tanya mama lembut.
            “Iya, Ma” jawab Tari sambil mengangguk pelan.
            “Ada tamu tuh di luar..”
            Kening Tari berkerut. Heran. Siapa tamunya yang datang malam-malam begini?
            “Siapa, Ma?”
            “Liat aja tuh ke depan!” ujar mamanya lalu langsung keluar dari kamar yang serba oranye itu.
            Tari yang saat itu hanya mengenakan kaos rumah dan celana pendek di atas lutut, langsung bergegas mencari tau siapa gerangan tamunya itu. Awalnya, Tari mengira pasti Ari yang datang. Namun kemudian, ia menjadi tak yakin. Soalnya, kalo Ari yang datang, mama pasti langsung nyebut nama ‘Ari’ waktu dia Tanya siapa yang datang.
            Begitu sampai di teras rumah, Tari kaget setengah mati melihat cowok yang sudah duduk menunggunya di kursi teras. Cowok itu berdiri dan tersenyum kecil saat Tari sudah muncul di hadapannya.
            “Angga???” pekik Tari dengan suara tertahan. Yang bisa ia rasakan saat ini adalah kaget, kikuk, dan tidak percaya yang bercampur aduk menjadi satu. Ia jelas tidak menyangka Angga datang ke rumahnya malam-malam begini. Apalagi, rasa kagetnya belum hilang dengan kemunculan Angga di dekat sekolah beberapa hari yang lalu.
            “Bisa bicara sebentar?” Tanya Angga yang juga jadi salah tingkah. Tari hanya mampu menjawab pertanyaan Angga itu dengan sebuah anggukan kecil, meski masih diliputi rasa bingung.
***

            “Lo apa kabar?” Tanya Angga memulai pembicaraan dengan canggung. Saat ini ia dan Tari sedang duduk di sebuah taman. Taman kecil kepunyaan kompleks yang letaknya tak jauh dari rumah Tari. Angga sengaja mengajak Tari ke sini agar dapat berbicara dengan lebih leluasa. Ada beberapa lampu penerang yang membuat keadaan taman tetap terang meskipun malam hari. Suasana taman itu sendiri memang cukup sepi saat malam hari seperti ini.
            “Baik. Lo?” Tari menjawab dengan ikutan canggung juga. Tak bias dipungkiri. Tidak bertemu dalam waktu yang cukup lama dan tanpa komunikasi sama sekali, membuat Tari dan Angga jadi seperti orang asing yang baru saling mengenal. Apalagi kepergian Angga pada waktu itu didorong oleh ancaman Ari, ‘musuh bebuyutannya’.
            “Nggak tau” jawab Angga ringan. Tari yang bingung dengan jawaban itu menatap heran pada Angga. “Iya. Gue sendiri pun bahkan nggak tau gimana keadaan gue saat ini.” Ujar Angga lagi dengan senyum getir yang dipaksakan.
            Tari terdiam. Bukan dia mau secuek itu pada Angga. Tapi dia memang bingung mau ngomong apa.
            “Maafin gue, Tar!” kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Angga. Begitu pelan dan lirih, hingga Tari yang berada setengah meter darinya pun hanya bisa mendengar samar.
            “Maksud lo?”
            “Kemaren gue mundur begitu aja saat Ari ngancen gue soal Anggita. Padahal harusnya gue tetep di samping lo dan ngebantuin lo.”
            “Nggak pa-pa kok, Ga. Gue ngerti,” jawab Tari, lalu tersenyum.
            Kemudian lama mereka terdiam. Terdiam dengan pikiran masing-masing. Rasa canggung itu masih saja menyelimuti. Bahkan mereka jauh lebih diam dari suasana malam di taman itu. Entah tidak ada yang ingin dibicarakan, atau memang masing-masing harus beradaptasi kembali untuk bisa berkomunikasi seperti dulu.
            “Lo berubah, Tar…” Satu kalimat singkat. Hanya terdiri dari tiga suku kata. Tapi mampu memecah kesunyian yang sedari tadi mencekam. Mampu pula membuat Tari menjadi jauh lebih bingung dan lebih kaget dari sebelum-sebelumnya. Tari tersentak dan langsung menoleh kea rah Angga.
            “Apa?” hanya itu yang mampu Tari ucapkan.
            “Pulang-pergi sekolah bareng Ari, pas jam istirahat juga bareng, nggak pernah berontak lagi apalagi marah-marah kalo dia dateng ke kelas lo, bahkan  lo nurutin semua kata-kata tuh anak. Gue nggak nyangka semua bisa berubah secepat itu. Gue nyesel kenapa kemaren gue bego banget, milih untuk mundur dan nge-jauhin lo..” Angga terdiam sejenak. Ia menghela nafas panjang lalu berkata lagi “ Apa karena Ari?”
            “Maksud lo apa sih? Gue nggak berubah. Gue tetep kayak Tari yang sebelum-sebelumnya.” Ujar Tari, meski ia sendiri pun tak yakin dengan apa yang dia ucapkan.
             “Lo suka sama dia?” Pertanyyan Angga kali ini benar-benar dibidik tepat pada sasaran. Tari sontak terdiam. Diam karena kembali bingung bagaimana harus menjawab. Angga tersenyum getir. Lagi-lagi senyum pahit yang dipaksakan. “Udah gue duga. Dia emang ahli banget dalam hal satu ini”
            “Tar…” panggil Angga lembut. “Gue emang belum pernah bilang ini sebelumnya. Tapi…..” kalimat Angga menggantung. Ia terdiam sebentar lalu menoleh kea rah Tari. Ditatapnya mata cokelat tua cewek itu. “Gue suka sama lo, Tar. Gue sayang banget sama lo! “ kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Angga. Kata-kata yang kemudian mampu menciptakan rona merah di pipi Tari. Rona yang mungkin terlihat jelas dalam suasana taman yang cukup terang. Wajah Tari memanas. Biar bagaimana pu, Angga pernah begitu dekat dengannya.
            “Anggita gimana? Lo jangan nekat deh, Ga! Mungkin lo Cuma salah sangka aja sama perasaan lo ke gue.”
            “Maksud lo?”
            “Lo bukan khawatir soal Anggita. Tapi yang lo khawatirkan itu Ari. Iyakan? Jadi lo udah bener-bener suka sama dia?” Petanyaan Angga kembali membuat Tari kikuk. Bukan hanya karna dia untuk kesekian kalinya bingung harus menjawab apa. Tapi karna hati kecil Tari justru meng-iyakan semuanya.
            “Lo nggak usah khawatir, Tar! Gue akan memulai semuanya dengan car ague sendiri. Gue nggak peduli sekalipun lo udah punya perasaan khusus sama Ari.. Anggita itu urusan gue.” Angga kembali memberi jeda dan menarik nafas berat.  “Tapi, satu hal yang perlu lo tau. Gue tetep akan kembali dan mucul lagi dihadapan lo. Gue nggak peduli, meskipun itu bakal mengusik hidup si brengsek Ari.” Kata Angga mengakhiri pembicaraan.
            Ia kemudian mangantar Tari pulang. Dari awal Angga memang tidak berniat untuk mendengarkan jawaban dari Tari. Karena ini memang bukanlah sebuah penembakan romantis atau pernyataan cinta yang pada akhirnya hanya dua, ditolak atau diterima. Angga sudah memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kehidupan Tari. Dengan atau tanpa izin dari cewek itu.
***

            Tari masuk ke dalam kamarnya. Mala mini jadi terasa begitu membingungkan bagi Tari. Ada rasa kasihan pada Angga. Namun, bayangan Ari yang sedari tadi muncul dalam pikirannya, terasa begitu kuat mendorong Tari untuk langsung membangun tembok pembatas antara dirinya dan Angga.  Meskipun Angga yang dia lihat tadi tampak begitu rapuh dan tidak bersemangat. Yang Tari bingungkan adalah apakah semua yang diucapkan Angga tadi benar? Apakah sikap Angga tadi adalah ungkapan pernyataan cinta yang samar?
            Tari menarik nafas panjang sambil mencoba untuk menjernihkan pikirannya. Tari kembali duduk di depan meja belajarnya dan masih saja terdiam dalam situasi yang menyulitkan. Ia melirik sekilas ke arah handphonenya yang dari tadi tergeletak saja di meja belajar. Tari memutuskan untuk menelfon Fio dan sekedar curhat. Sepertinya, dia butuh teman untuk berbagi cerita malam ini. Dan dapat dipastikan Fio lah orang yang paling tepat. Meskipun Fio sendiri mungkin tak dapat membantu banyak.
            Tari mengerutkan kening heran saat melihat 3 panggilan tak terjawab di layar ponselnya. Saat dibuka, yang tertera hanya sebuah nomor yang tidak dikenal oleh Tari.
            Tak lama kemudian, handphone Tari berdering. Nomor yang sama dengan yang dia lihat pada panggilan tak terjawab tadi.
            “Halo…” sapa Tari singkat.
            “Hai, Tar!” orang diseberang menyapa balik. Terdengar suara cowok dari seberang telfon. Seketika Tari terdiam. Matanya menyiratkan sikap kewaspadaan yang tak dibuat-buat. Wajahnya menegang. Suara itu….. Dia kenal dengan suara itu. Meski belum begitu akrab dengan suara itu, tapi ia tahu betul. Intonasi mengancam yang tersirat jelas meskipun dalam ucapan-ucapan yang halus.
            “Ata?!?” seru Tari kalut.
            “Hebat…! Lo bahkan bisa ngenalin suara gue. Salut deh sama lo!” Puji Ata dengan nada mengejek.
            “Ada apa?” Tanya Tari dingin.
            “Suara lo kok cuek banget? Lo nggak seneng gue nelfon lo? Kalo Ari yang nelfon seneng? Sayangnya tuh anak lagi bermanja-manja ria ama nyokap gue..” Tari terdiam. Ia tak habis pikir mengapa Ata  jadi orang yang begitu aneh dan berbeda.
            “Gue Cuma mau ngasih tau lo kabar gembira. Kalo gue dan nyokap gue udah mutusin untuk tinggal di Jakarta lagi. Itu artinya, gue bisa lebih dekat lagi sama lo ‘saudari matahari’ gue  yang baru. “ ujar Ata santai. Tapi nada mengancam itu masih tetap tersirat.
            Seketika raut wajah Tari kembali menegang. Ia merasa tangannya dingin dan jantungnya berdetak begitu cepat. Entah mengapa, Ata menjadi sosok yang begitu menakutkan.
            “Nggak ada urusannya sama gue!” ujar Tari ketus. Ia tak tahu dapat keberanian darimana untuk ngomong kayak barusan. Tapi yang pasti, ia harus berusaha melawan Ata mulai sekarang. Karena bendera perang sudah dikibarkan lebih awal oleh Matahari Jingga itu.
            “Menurut lo, ini nggak ada hubungannya sama lo? Masa lo lupaama janji gue kemaren? Bukannya gue udah bilang kalo gue bakalan nge gangguin hidup lo mulai sekarang? Gue juga bakalan dengan senang hati untuk buat lo nangis! Sayangnya… gue nggak bakalan sekolah di Airlangga dan bisa lebih dekat lagi ama lo. Tapi, nggak pa-pa. Dengan gue pindah ke Jakarta aja, itu berarti gue udah satu step lebih dekat ama lo!”
            “Kenapa? Kenapa lo jadi aneh? Tanya Tari lirih.
            “Kenapa gue jadi aneh?” Ata mengulang pertanyaan Tari barusan. “Emang lo udah pernah mengenal gue sebelumnya? Gue emang begini kok!”
            Tari tersentak. Ia kembali membisu. Itu bener. Dia memang belum mengenal Ata. Hanya saja, Tari sering lupa kalo Ata yang sempat jadi bagian dari hidupnya kemaren adalah Ari. Ari yang menyamar jadi Ata. Ari yang dulu membohonginya dan menjadi dua orang berbeda hanya karna inginnya cowok itu melampiaskan kepenatan dalam dirinya  yang tidak Tari mengerti.
            “Sekarang ini, lo Cuma perlu ngucapin ‘selamat datang’ aja, Tar, buat hari-hari kesialan lo yang bakal datang sebentar lagi. “
            “Lo nggak punya hak untuk ganggu hidup gue! Lo pikir lo siapa?” bentak Tari yang sudah tidak tahan lagi.
            “Lo yang udah mutusin untuk ikut masuk ke dalam hidup Ari! Jadi lo juga harus ikut nanggung semua hal yang harusnya Ari rasain! Karna waktu udah buat begitu banyak hal jadi nggak bisa dimengerti, Tar! “ ujar Ata sinis. Tari bertambah bingung dengan pa yang diucapkan Ata barusan. Bingung dengan apa tujuan Ata yang sebenarnya. Ia kini tak mampu untuk berkata apa-apa lagi.
            “Gue rasa cukup. Gue Cuma mau ngomong itu doing. Gue harap lo bisa nyiapin mental dan pikiran lo dari sekarang!” kata Ata. “Oh ya, satu lagi… Kalo lo mau ngasih tau Ari soal ancaman gue ini, itu hak lo! Tapi gue  rasa lo cewek baik. Gue yakin lo nggak bakalan tega ngebiarin Ari terpuruk lagi karena ulah gue, saat dia udah mulai menata kembali mimpinya untuk punya keluarga yang bahagia. “ ujar Ata mengakhiri pembiacaraan.
            Begitu telefon diputus oleh Ata, Tari terduduk lemas. Pandangannya kosong. Ditahnnya butir-butir bening yang hampir tumpah dari pelupuk mata. Rasa takut, bingung, dan ketidakberdayaan berkumpul dan berkecamuk dalam hatinya. Belum lagi usai rasa risau karna kedatangan Ata, Angga sudah kembali datang dan memperkisruh suasana.
            Tak terpikirkan lagi oleh Tari tentang tugas kimianya tadi. Bahkan untuk tidur dan memejamkan mata saja sudah sangat sulit untuk dilakukan. Inikah tantangan yang baru dalam babak-babak kehidupan SMA Tari? Padahal baru saja Tari bisa menjalani hari-hari sekolah normal semenjak perubahan positif pada diri Ari.
            Apa yang harus diperbuat oleh Tari? Ia sendiri belum bisa menjawabnya. Tari kini hanya bisa terdiam dan pasrah pada semua yang akan ia hadapi. Ini bisa jadi adalah awal mula dari hari-hari berat yang kembali harus ia jalani. Hari-hari berat bersama ‘pahlawan pelindung’nya di waktu lalu dan dua ‘sosok matahari’ yang kini jadi terlihat benar-benar berbeda.

            Thanks a lot yah buat yang udah mau baca!!! ^^ Jangan bosen2 untuk ngikutin cerbungnya.. And krisan nya juga.. Oh ya, author juga pengen tau bagian mana yang palinga kalian suka dari part 3 ini. Biar author lebih tau lagi gimana ngembangin cerita berikutnya. Sekali lagi thank youuu!

BY : MERZ

Jingga Untuk Matahari (my creation) part 2

          
           Dia berdiri di ambang jendela, sambil memandang ke arah lapangan sekolah. Tatapannya memang mengarah kepada anak-anak yang sedang bermain futsal di lapangan. Namun jelas fokus pikirannya bukanlah ke sana.
            Ia melepas pandangan dari arah lapangan lalu mengambil handphone dari saku celana sekolah. Ia mencari nomor kontak seseorang lalu menekan tombol ‘call’.
            Telepon diangkat. “Kenapa, Ga?” terdengar jelas suara seorang perempuan dari seberang telepon.
            “Git, gue udah gak bisa tinggal diem lagi. Gue bakalan kembali lagi ke hadapan Tari dan melanjutkan rencana awal gue.” Ucapnya dingin.
            “Lo jangan nekat deh! Lo mau gue dihabisin sama ‘the siccors’ di sekolahan? Kak Ari nggak bakal tinggal diem!”
            “Ari itu urusan gue.. Nanti kita bicarain lagi di rumah lo. Gue nelfon biar lo tau dulu.”
            “Tapi, Ga..” belum sempat Anggita menjawab, telfon sudah diputus. “Angga lo jangan gila deh!” decaknya kesal, namun dengan suara pelan yang hampir tidak terdengar.
***
            Suasana di ruangan kelas Ari tampak tenang. Tidak ada tanda-tanda keributan atau huru-hara yang biasanya dipelopori oleh sang pentolan sekolah itu. Bu Sam, wali kelas Ari sibuk menulis di papan tulis untuk di salin oleh para siswa.
            Tiba-tiba Oji menyenggol Ari yang duduk di sampingnya.
            “Bos, garing banget ini mah! Kelas sepi kayak kuburan, mana pas siang bolong tengah hari gini lagi..” bisiknya pelan. Ari yang di ajak ngobrol malah diem aja dan tersenyum geli.
            “Gini nih si bos! Nggak bisa diajak kompromi.. Lima menit lagi kayak gini gue bisa masuk UGD!” sewotnya. Ia merobek bagian belakang bukunya dengan hati-hati agar tidak terdengar Bu Sam. Perlahan di remasnya sobekan kertas itu sampai berbentuk bola tak beraturan. Tak lama kertas itu di lempar ke arah depan dan dengan sukses berhasil mendarat mengenai kepala Ridho. Ridho yang sudah tau asal lemparan itu langsung berbalik sambil menatap sebel kepada Oji.
            Oji cengar-cengir kuda lalu memberi isyara pada Ridho agar menunggu aksi cecunguk Ari itu selanjutnya. Oji lalu mencolek bahu Rani yang duduk di depannya, sambil memasang tampang memelas (kayak nggak dikasih makan 3 bulan), ia menunjuk ke arah kertas manila kepunyaan Rani.
            “Kalo nggak dipake buat gue donk!”
            Rani yang tahu bakalan ada kejadian gila yang selanjutnya akan terjadi langsung memberi kertas manila yang sudah tinggal setengah bagian dari bentuk utuhnya.
            “Spidolnya sekalian!”
            Kemudian tangan Oji bergerak cepat menulis sesuatu di kertas manila. Ari yang penasaran, melirik sekilas lalu tersenyum tipis sambil geleng-geleng kepala. Ridho yang sudah dari tadi balik badan menunggu aksi  Oji, mengerutkan kening heran.
            Tak lama kemudian, Oji mengangkat tinggi-tinggi kertas manila di tangannya. Layaknya orang demo di depan gedung MPR/DPR Senayan. Ridho tersenyum lebar tanpa suara, lalu dengan wajah tak berdosa ia mengangkat tangan dan memanggil Bu Sam.
            “Bu, Oji ingin mempersembahkan sesuatu tuh buat ibu!” ujar Ridho dengan nada sok serius, seolah ia sedang melaporkan isi dari perjanjian Linggar Jati. Bu Sam segera balik badan dan menatap Oji dan Ridho bergantian.  Murid-murid lain langsung melepaskan pandangan dari buku catatan masing-masing. Kini semua mata penghuni kelas tertuju pada Oji dengan raut penuh minat.
            “Ada apa Oji?” sahut Bu Sam tegas. Kertas yang tadinya diangkat-angkat oleh Oji kini sudah disembunyikan saat Ridho angkat suara tadi.
            “Ji, mana? Tunjukin donk.. Nggak gentle banget sih! Kalo mau nyatain perasaan itu tuh harus berani.. Itu baru namanya cowok sejati!” seru Ridho yang masih sok serius.
            “Ayo, Ji! Tunjukin, man kalo kejantanan lo nggak GALAU!” sambar Ical yang langsung membuat tawa satu kelas meledak.
            “Sudah, tenang semua!” Bu Sam setengah berteriak. “Kertas apa itu di tangan kamu Oji? Coba angkat!” pertintah Bu Sam.
            Oji dengan perlahan mengangkat kertas manila tersebut. Ridho yang sudah terlebih dahulu tau isi dari tulisan tangan Oji itu menahan tawanya yang hampir pecah. Saat kertas itu sudah diangkat, muka Bu Sam memerah seakan baru makan 5 kg cabe rawit tanpa minum dalam tempo waktu 1 menit. Tawa seisi kelas pun meledak tak terkontrol. Ari yang duduk di sebelah Oji pun tak ayal tersenyum geli.
            Tulisan Oji yang jauh dari kesan indah (malah bisa dikategorikan abstrak) itu, jelas membuat Bu Sam geram. ‘I LOVE YOU MY LOVELY BU SAM! MESKIPUN DIRIMU TELAH ADA YANG MEMILIKI, NAMUN HATIKU AKAN SLALU JADI MILIKMU.. MESKIPUN DIRIMU KERAP MENGHUKUMKU, TAK ADA CELAH DENDAM DIHATI INI PADA MU! I LOVE YOU TRULY, DEEPLY!’. Itulah isi dari tulisan Oji yang tiap-tiap hurufnya ditulis besar-besar sampe orang yang bener-bener belum belajar membaca tiba-tiba bisa langsung melek aksara.
            “Hahhahhaha.. Oji, norak lu akh! Hari gini masih nyatain cinta pake cara gituan?? Ini tuh udah jamannya teknologi man.. Orang-orang mah udah pada pake handphone, I-phone, atau Ipad, eh elu bawa2 kertas manila gitu! Norak lu bro!” ejek Eki heboh.
            “Wah,, parah lo, Ki! Itu kan cara Oji buat nyatain cinta.. Yah suka2 dia lah, mau pake spanduk, pake baliho, atau pake papan reklame juga urusan dia! Ngapa jadi lu yang ribet!”bela Ridho dengan sama gilanya. Yah iya lah gila... Orang jaman kuda masih makan batu aja tau kalo nyatain cinta tuh nggak pernah pake papan reklame.!
            “Tapi tetep aja nggak boleh donk! Pake cara yang romantis dikit kek gitu!”
            “Cara yang romantis emang gimana, Ki?” tanya Ical sok bego. Tidak peduli dengan tatapan bengis dari Bu Sam yang dari tadi mencoba menenangkan kelas dengan memukul-mukul penggaris yang panjangnya 1 meter.
            “Yahhh,, candle light dinner kek, jalan kek, nonton,, bawa bunga, coklat, atau apalah gitu!”
            “Kagak mungkin lah bisa! Oji mah mana ada modal.. Makan siang aja tadi kudu gue yang bayarin!” kali ini Ridho malah ngejek Oji. Oji yang dihina malah senyam-senyum bego tanpa merasa tersindir. Karena sebenarnya inilah yang diinginkan Oji. Kelas jadi heboh, bu Sam nggak jadi ngajar, and keboringan berhenti melanda.
            “Diam semuanya!” bentak Bu sam kesal. “Ojiiiiiiiiiiiiiiii!!! Tidak bisa apa kamu tidak berulah sehari saja? Kamu juga Ridho ikut-ikutan!” bentak Bu Sam marah. Tatapan matanya pun menajam dan beralih ke Ari yang jelas-jelas hari ini sedang absen dari kegiatan usil-usilan ala Oji.
            “Kok ibu ngeliat saya?” tanya Ari polos. Ia dari tadi memang hanya menonton saja keisengan Oji dan yang lainnya. Tanpa ikut berpartisipasi.
            “Saya tau ini ide kamu! Siapa lagi yang suka menghasut si Oji buat berulah kalau bukan kamu!?”
            “Yeee.. ibu mah su-udzon aja sama saya.. Ibu kangen yah karana saya hari ini absen dari kegiatan nge gangguin ibu?”kata Ari dengan wajah tanpa dosa.
            “Kamu ini memang.........” belum sempat Bu sam melanjutkan omelannya bel istirahat sudah berbunyi panjang. “ Hah,, sudahlah! Pelajaran hari ini sampai di sini saja. Tugas kalian dari buku Paket halaman 20 sampai 35. Dikumpul besok!” Kata Bu sam masih dengan wajah Bete.
            “Yah, ibu nggak ngira-ngira nih ngasih tugas..!” ujar Oji protes.
            “Itu hukuman! Karna kalian hari ini mengganggu kegiatan mengajar saya.” Kata Bu Sam dan langsung keluar kelas. Oji yang adalah sumber dari segala kekacauan tadi harus rela jadi objek timpukan anak-anak satu kelas. Gimana enggak, gara-gara ulah Oji anak-anak satu kelas harus rela bergadang nanti malam buat ngerjain tugas dari Bu sam, kalau nggak mau dapat hukuman lagi besok.
            Ada yang berbeda dengan Ari. Mungkin anak-anak yang lain tidak ada yang menyadari. Namun tentu saja berbeda dengan Oji dan Ridho. Berteman dan dekat dengan Ari  hampir lebih dari 2 tahun, membuat mereka mulai bisa memahami dan membaca sifat raja sekolah yang misterius itu. Ari tidak lagi sering membuat ulah di sekolah. Bahkan dapat dikatakan frekuensi kenakalan Ari di sekolah menurun drastis. Seperti hari ini pun. Ari menolak untuk membuat kacau pelajaran Bu Sam. Padahal biasanya, tanpa diminta pun Ari sendiri lah yang dengan ikhlas menjadi pelopor dari sejumlah kekacauan di sekolah.
            Mungkin saja perubahan Ari ini karna ia sudah bisa sedikit tersenyum lega saat ini. Ia sudah bisa bertemu lagi dengan ibu dan saudara kembarnya, setelah sekian tahun tidak bertemu. Ridho dan Oji pun tau bahwa Ari hanya akan berulah jika ia sedang dalam keadaan stress dari rumah, kesepian dan down. Membuat kekacauan di sekolah adalah bentuk dari pelampiasan emosi Ari tang sering tidak terkontrol. Namun, jika mood nya sedang sangat baik, Ari bisa berubah jadi siswa baik yang taat aturan.
            Dan saat ini Ari sepertinya sedang dalam mood yang baik. Entah karena ia sudah bisa bertemu lagi dengan ibunya dan Ata, atau karena sosok cewek yang sekarang pun sudah tak lagi lari saat didatanginya. Oji dan Ridho pun tau bahwa setelah sekian lama berteman dengan Ari, Tari lah satu-satunya perempuan yang bisa mempengaruhi emosi Ari. Dan saat ini pun, sikap Tari pada Ari mulai berubah. Tari memang belum jelas-jelas menerima Ari. Namun, sikapnya sudah mulai menunjukkan bahwa ia tak lagi menghindari Tari seperti sebelum-sebelumnya.
            Tapi, apapun itu Oji dan Ridho senang dengan perubahan positif pada diri Ari. Biar bagaimanapun, pentolan sekolah itu perlu orang-orang dekat yang akan selalu bisa mendukung dan menyayanginya.
***
            Bel pulang SMA Airlangga berbunyi panjang. Murid-murid yang udah dari tadi ngebet pengen pulang langsung menampakkan raut wajah sumringah bin bahagia. Tari dan Fio cepat-cepat mengemas buku-buku mereka. Ujian dadakan yang tadi dikasih Pak Lukas, guru matematika cukup menguras pikiran dan tenaga.
            Sesampainya di depan lapangan basket sekolah, Tari berhenti tiba-tiba. Fio yang bingung jadi ikutan berhenti juga.
            “Kenapa, Tar?”
            Tari tidak menjawab. Ia hanya diam sambil menunjuk ke arah pintu gerbang sekolah. Di sana sudah ada Ari cs, yang sudah pasti terdiri dari Ari, Ridho dan Oji.
            “Ohh,, Kak Ari ya? LO nggak mau ketemu dia?”
            “Bukan gitu. Tadi pas istirahat yang pertama gue diajakin ke kantin, dia bilang bakal nganterin gue pulang. “ jawab Tari sambil terus memandang ke arah gerbang sekolah, tepatnya ke arah 3 cowok yang kayaknya lagi asyik ketawa-ketiwi itu.
            “Kalo gitu, kita nungguin aja sampe Kak Ari pulang dulu. Kita bisa nunggu di kantin atau di kelas. Soalnya gue yakin, kalo lu lewat dia pasti langsung nyegat.”
            “Bukan gitu juga!”
            “So?”
            “Gue justru bingung. Tadi kan Kak Ari bilang gitu pas istirahat pertama. Abis itu dia gak ngomong lagi atau sms setelah itu. Kalo ntar dia lupa dan tau2 gue nungguin dia ngajak gue, kan nggak banget!”
            “WHAT?? Lo nggak lagi demam kan Tar? Atau jangan2 ini gara2 Pak Lukas ngasih ujian dadakan yah?” ujar Fio heran sambil megang kening Tari dengan heboh.
            “Aduh... Fio lo apa-apaan sih? Gue nggak kenapa-napa akh! Gue normal-normal aja.. Lagian tadi gue udah sempat bilang ‘iya’..” jawab Tari sambil melepaskan tangan Fio yang menempel  di keningnya.
            “Itu Kak Ari lho, Tar! KAK ARI!” ujar Fio meyakinkan Tari bahwa yang sedang mereka perdebatkan untuk nganterin Tari adalah ‘Ari’. Biang onar di sekolah, yang beberapa kali sudah buat Tari nangis, yang selama ini selalu dijauhin Tari, yang selama ini selalu buat hari-hari Tari di SMU Airlangga jadi ribet. Dan bukannya Kim Bum atau Joo Won artis Korea idola Tari.
            “Ya udahlah lah. Yuk! Panas banget nih..” kata Tari sambil menarik tangan Fio yang masih bengong.
            Oji yang melihat Tari dan Fio berjalan mendekati gerbang sekolah langsung menyenggol lengan Ari.
            “Tari tuh, Bos!”
            Ari pun menoleh ke belakang dan mendapati Tari yang kini sudah berjarak kurang 2 meter dari tempat dia berdiri.
            “Jadi gue anter pulang kan?” tanya Ari. Tari hanya mengangguk dan menjawab ‘iya, Kak Ari’ dengan suara pelan.
            “Fi, Tari pulangnya bareng gue. Lo sendiri nggak pa-pa kan?”
            “ Iya Ka. Nggak apa-apa.” Kata Fio nurut. Ya iya lah. Siapa Fio, ampe berani bilang  ‘tidak’ pada seorang Ari yang notabene adalah penguasa sekolah.
            “Gue duluan yah, Fi..” ujar Tari yang tambah membuat bengong Fio. “Saya duluan Kak..” ujarnya lagi pada Ridho dan Oji. Tari pun kemudian mengikuti Ari yang sudah berjalan duluan menuju tempat parkiran motor.
            Begitu Tari duduk di boncengan motor Ari, Ari langsung melajukan motor nya keluar dari area sekolah. Namun, baru sekitar 3 meter dari gerbang, segerombolan anak-anak SMA dengan seragam yang berbeda berjalan menuju SMU Airlangga. Ari sudah pasti langsung mengenal seragam sekolah milik SMU Brawijaya itu. Anak-anak Brawijaya sudah siap dengan alat tempur mereka masing-masing. Ada yang megang pentungan, ada yang bawa balok kayu, ada yang bawa tumpukan batu, dan banyak lagi. Pokoknya semua yang dibutuhkan untuk kegiatan tawuran. Ari dengan sigap langsung memutar arah motornya kembali ke sekolah. Tari yang duduk di belakang memucat dan langsung menundukkan kepala takut kena batu nyasar.
            Anak-anak yang tadinya santai pulang dari sekolah, tiba-tiba berlarian panik. Ada yang langsung cabut dengan kendaraan masing-masing ke arah yang  berlawanan dari anak-anak Brawijaya, ada yang ngumpet di balik semak-semak (yang ini nggak kreatif banget!), namun lebih banyak yang kembali masuk ke gedung sekolah karena dirasa lebih aman.
            Ari memarkir kembali motornya di tempat semula. Ridho yang sudah tau ada anak-anak Brawijaya di luar langsung menghampiri Ari.
            “Oji mana?” tanya Ari.
            “Lagi nyiapin anak-anak untuk turun..”
            “Oke..” kata Ari yang tetap tenang. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, Fio dan Nyoman yang tampaknya masuk lagi ke gedung sekolah karna ada gejala-gejala bakal terjadi tawuran berjalan menemui Tari.
            “Fio, gue titip Tari. Tunggu di kelas sampe gue balik lagi dan jangan kemana-mana!” ujar Ari tegas. “Kayaknya tuh anak udah kangen mau show off di depan gue..” katanya lagi dengan suara pelan, namun bisa di dengar oleh Ridho, Nyoman, Fio, dan Tari tentunya. Dan kata ‘tuh anak’ udah pasti adalah Angga.
            Setelah itu, Ari dan Ridho setengah berlari bergabung dengan murid-murid lain yang sudah dipimpin oleh Oji. Murid-murid yang kira-kira berjumlah hampir 50 orang itu sebagian besar adalah anak-anak kelas dua. Mereka-mereka yang mengaku dirinya adalah ‘pahlawan sekolah’ dan siap untuk di skors atau dapat surat peringatan dari sekolah setelah perang usai. Dan siap juga untuk memar-memar, luka, bahkan masuk rumah sakit gara-gara semangat patriotisme yang disalah artikan.
            Anak-anak Airlangga yang sudah dibekali strategi oleh Oji langsung tumpah ruah menyambut kedatangan musuh mereka. Oji pun langsung bergabung dengan teman-temannya yang lain. Ridho masih berdiri di samping Ari yang juga masih diam tak jauh dari gerbang sekolah.
            “Kayaknya dia nggak ada, Ri. Gue Cuma liat Bram temen deketnya dia.” Kata Ridho yang seolah mengerti maksud Ari masih saja berdiri diam di dekat gerbang sambil menatap tajam ke segala arah. Namun, Angga memang tidak tampak di sana. Hanya ada Bram yang tampaknya mengarahkan teman-temannya.
            Tiba-tiba, sebuah batu terarah dan hampir mengenai Ari. Untung saja Ari cepat mengelak. Lemparan batu itu menghantam keras dinding pos satpam sekolah. Bram dengan dengan senyum sinisnya menatap mengejek ke arah Ari. Oji yang melihat hal itu langsung saja melayangkan bogem mentah pada anak buah Angga itu. Bram yang tidak siap langsung limbung dan hampir terjatuh ke jalan.
            Tak lama sirine mobil petugas satpol PP mengejutkan para prajurit perang itu. Oji yang tadinya masih ingin melanjutkan acara tinju2annya dengan Bram langsung membatalkan niatnya itu dan menyuruh  teman-temannya untuk bubar dan kembali ke sekolah. Sedangkan anak-anak Brawijaya memilih untuk bubar ke arah yang tidak terarah sambil berusaha menghindari petugas.
***
            “Oji lagi di ruang BP. Lagi nerima petuah dan amanat dari Bu Sam” kata Ridho yang saat itu datang menyusul Ari ke kelas Tari.
            “Lo kok nggak ikutan?”
             “Gue permisi ke kamar mandi tadi. Gue bilang kalo nggak di kasih gue bakal ngeluarin di ruang BP.” Jawab Ridho santai dan membuat Tari, Nyoman dan Fio ternganga lebar. Berani banget ngomong gitu ke Bu Sam yang galak.
            “Gue donk yang lagi untung! Pak Rahardi lagi nggak masuk. Jadi gue nggak harus silaturahmi dulu ke kantor kepsek”.
            “Lu mah emang selalu lebih beruntung dari kita berdua!” ujar  Ridho.
            “Oh ya, Lo bawa mobil kan? Anterin Fio ama Nyoman gih! Gue takutnya masih ada anak-anak Brawijaya yang berkeliaran di deket sekolah.
            “Tari nggak sekalian juga?” tanya Ridho bego. Ari pun menatap Ridho tajam karna jadi kembali ingat peristiwa Ridho nganter Tari pulang beberapa waktu lalu. Yang berakhir pada Tari nangis di pelukan Ridho. “Becanda man!” kata Ridho kemudian sebelum tatapan mata Ari bertambah tajam lagi.
            Ridho mengeluarkan handphone dari saku seragam sekolahnya. Di kontaknya nomor Oji.
            “Ji, gue duluan ya! Dapet tugas dari Ari.” Kata Ridho yang me-loudspeaker handphone nya.
            “Wah parah lo, Dho! Ngebiarin temen susah sendiri. Temen macem apa lo?” kata Oji ngambek.
            “Bukan gitu Ji. Gue disuruh Ari buat nganterin temen-temennya si Tari pulang. Kudu dijagain ampe nyampe pintu rumah kata Ari. “
            “Lo nggak peduli lagi ama gue?” tanya Oji LEBAY.
            “Gue sih sayang dan cinta ama lu, Ji. Tapi, sory2 aja nih yee, tapi gue juga masih cukup normal untuk milih nganterin cewek-cewek tulen ketimbang harus dihukum bareng yang jadi-jadian kayak elo!”
            Ari yang mendengar tertawa geli, begitu juga Tari. Sedangkan Nyoman dan Fio menunduk salting. Tiba-tiba terdengar suara Bu Sam yang membentak Oji karna nelfon waktu dia lagi ceramah.
            “Ini Ridho Bu.” Kata Oji pada Bu Sam. “ Dho, Bu Sam nanya lo dimana. Katanya ke kamar mandi aja kok lama. Kangen kayaknya!” Kata Oji lagi yang membuat Ridho dan yang lain tertawa.
            “Bilang ke Bu Sam gue pergi tak lama. Dan gue titip peluk kecup!” ujar Ridho gombal.
            “Udah dulu deh, Dho. Bu Sam udah pelototin gue kayak serigala mau makan anak ular! Salam buat si bos.. Bilang gue merasa di khianati. Bye”  Telepon ditutup.
            “Emang serigala makan anak ular?” tanya Ridho goblok. Pertanyaannya dijawab Ari dengan sebuah toyoran di kepala Ridho.
***
            Ridho sudah jalan duluan nganterin Fio dan Nyoman. Ari pun melajukan motornya melewati gerbang sekolah. Satpam tentu saja nggak bisa nge halangin. Kalo anak-anak yang lain mungkin bisa. Tapi lain cerita kalo Ari.
            Ari menghentikan motornya tiba-tiba tak jauh dari gerbang. Ia mengeluarkan handphone dan mengetik beberapa huruf. SMS. Tari yang duduk diboncengan Ari memperbaiki cara duduknya agar rok nya tidak terangkat terlalu pendek. Tidak sengaja, mata Tari menangkap bayangan seseorang. Sekarang bayangan itu tampak jelas.
            Angga berdiri di balik salah satu pohon besar dengan masih menggunakan seragam sekolah. Ia tersenyum ke Arah Tari. Tari terkesiap. Raut wajahnya menegang. Tari kemudian melihat Ari yang duduk di depannya. Ari tampak masih serius dengan handphonenya. Tari sedikit lega. Paling tidak, Angga tidak harus mendatangi Ari dan membuat keributan.
            Ari yang sudah selesai dengan handphonenya mengambil posisi untuk kembali melajukan motor. Tak diduga oleh Tari, Ari tiba-tiba mengulurkan tangannya dan menarik tangan kiri Tari dan dibimbing untuk melingkari pinggang Ari. Hal itu pun berlaku juga untuk tangan kanan. Tari terkesiap.
            “Gue tau apa yang lagi lo cemasin. Jangan nge liat dia atau mikirin dia lagi. Apalagi kalo lagi ada di deket gue. “
            “Apa?” tanya Tari gugup.
            “Angga kan?” Setelah mengucapkan kata ‘Angga’ motor Ari langsung melaju kencang meninggalkan area sekolah.
            Angga yang masih berdiri di tempat ia melihat Tari membuka handphone nya yang tadi berdering.
            ‘Dia punya gue sekarang. Lo udah lama kehilangan tempat dan tugas lo sebagai pelindung TARI!’
            Angga tersenyum getir dan sinis. “Lo emang se-jeli yang gue kira.. “
***
            Jalanan yang tidak terlalu macet, membuat Ari dengan leluasa melaju membelah jalanan. Namun, hal itu tidak menjadi perhatian cewek yang saat ini sedang duduk di belakangnya. Pikiran Tari berkecamuk memikirkan kemunculan Angga tadi. Kenapa Angga kembali? Apa dia yang merencanakan tawuran tadi? Bukankah Angga sudah mengalah untuk mundur sebagai pelindung Tari demi keamanan Anggita di sekolah?
            Kenapa Angga muncul lagi saat Ari kini mulai berubah? Tidak dapat dipungkiri, Angga adalah sosok yang dulunya punya arti penting untuk tari. Sosok yang menghibur dia saat dia menangis karna Ari. Sosok yang membantu menghilangkan kepenatan dan kejenuhan karna keisengan Ari di sekolah. Sosok yang jadi pelindungnya sebelum ‘Ata’ ciptaan Ari muncul.
            Namun saat ini Tari merasa ada yang berbeda.Tanpa disadari Tari dan entah sejak kapan Ari  mulai menjadi magnet yang siap menarik Tari. Dan entah mengapa pula Tari mulai ikut dalam gelombang magnet itu. Kutub yang sejenis kini malah perlahan berubah dan saling tarik menarik.
            Lamunan Tari terus berlanjut hingga tanpa Tari sadari motor Ari sudah berhenti dan mereka sudah berada di depan rumah Tari. Tari tersadar dan segera turun dari boncengan motor Ari.
            “Makasih, Kak udah nganterin saya pulang,”
            “Lo nggak apa-apa kan tadi?”
            Tari  menggeleng pelan. Ia lalu berbalik dan melangkah masuk. Namun masih 3 langkah ia bergerak, Ari sudah turun saja dari motornya. Ia menarik tangan Tari lembut dan merengkuh tubuh Tari hingga tak ada jarak lagi di antara mereka. Ari menyandarkan kepala cewek yang ada dalam pelukannya itu di dada, lalu berbisik lirih di telinga Tari.
            “Jingga, jangan lari lagi dari gue ataupun berniat untuk lari dari gue. Karna kalo sampe hal itu terjadi, topeng gue sekalipun mungkin nggak akan bisa nyelamatin gue lagi.” Suara itu bergetar. Sama bergetarnya dengan hati cewek yang sedang terpana karna kata-katanya barusan.
            Ari pun melepaskan pelukannya perlahan. Ia mengangkat dagu Tari yang masih menundukkan kepalanya.
            “Lo istirahat aja. Besok pagi gue jemput berangkat sekolah.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, Ari mengacak-ngacak rambut Tari lembut. Ia lalu berbalik, menaiki motornya dan melaju meninggalkan Tari yang masih belum hilang bengongnya. Dan entah kenapa, saat ini Tari bisa merasakan jantungnya berdegup kencang.

***   

Resensi Novel "Jingga dan Senja"

Benda dan Bayangan..



Judul Novel : Jingga dan Senja
Penulis : Esti Kinasih
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Kota Tempat Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : Februari 2010, Cetakan I
Tebal : 313 halaman
Harga : Rp 35.000,00

Kemiripan dua buah nama ternyata bisa dijadikan sebagai alasan yang kuat untuk bersama. Bukan merupakan nama biasa yang pada umumnya dapat ditemui di masyarakat pada umumnya. Akan tetapi, lebih mengacu kepada suatu identitas unik dan bersifat fenomenal. Tidak dapat dikatakan “kuno” atau “berlebihan”, namun itulah kenyataannya. Walaupun memiliki perbedaan pada nama pertama dan kedua, tetapi makna katanya tetap sama. Memusat pada satu titik terpenting dalam jagat raya.Satu titik terpenting saat kembali ke peraduaannya. Dua panggilan inilah yang digunakan Esti Kinasih dalam novelnya yang berjudul Jingga dan Senja.

Dalam novel ini diceritakan tentang kehidupan anak remaja yang dibumbui dengan romansa cinta serta hal lainnya, seperti persahabatan hingga pada aksi tawuran sekolah. Berlatar di sebuah sekolah menengah tingkat atas Jakarta dengan segala hal yang berbau kehidupan ABG sekarang, membuat semua siswa-siswinya mengikuti trend yang berkembang di masa sekarang. Termasuk aksi jagoan para siswa SMA Airlangga yang “rela mati demi mempertahankan negara”, begitu semboyan mereka. Pertemuan dua insan dengan nama yang tidak jauh beda di “medan tempur”, menjadi hidangan awal timbulnya konflik baru.

Suasana inilah yang menjadikan karya perempuan berzodiak Virgo tersebut menciptakan kegemparan yang luar biasa di jejaring sosial maupun forum-forum diskusi dunia maya. Ditambah lagi aksi nekatnya membuat para pembaca ingin marah, gelisah, dan tak karuan. Resentator yang juga merangkap sebagai teenlit lovers dengan tidak sungkan mencap bahwa karya Esti Kinasih kelima ini merupakan karya yang belakangan mengguncang animo dunia pembaca cerita fiksi dan teenlit lovers, khususnya kaum hawa.

***
NOVEL dibuka dengan aksi lempar-melempar bom-bom molotov padat alias batu, dari tempat-tempat penyimpanan rahasia di dalam dan di sekitar area SMA Airlangga. Penyerangan oleh musuh bebuyutan yakni SMA Brawijaya mengharuskan sekelompok siswa Airlangga dengan julukan “Pasukan Kamikaze” rela terlibat tawuran dan tidak peduli risiko yang akan dihadapi nantinya. “Sial! Si oranye itu kena kutuk, kali ya? Lagi-lagi terlibat tawuran!” desisnya. “WOI! COVER-IN GUE!” teriak pentolan SMA Airlangga yang bernama Ari itu kepada para “prajuritnya”. (hlm.46)

Hal yang wajar baginya mengatakan itu, karena gadis bernuansa oranye itu bukan kali ini saja terlibat tawuran, walaupun tanpa disengaja. Demi menyelamatkan gadis itu dan seorang temannya, Ari bergegas mencapai tempat kedua siswi itu. Hal yang sama juga dilakukan oleh Angga sang leader SMA Brawijaya. Kalah jarak dan pertahanan mengakibatkan Ari gagal menyelamatkan mereka.

Ari. Nama yang sudah tidak asing lagi bagi seluruh murid di sekolahnya. Sepenggal nama yang selalu keluar dari mulut guru-guru dan bahkan kepala sekolah. Seorang biang onar sekolah yang sangat ditakuti oleh adik kelas dan teman-temannya ini, dijuluki misterius karena tak ada seorang pun yang tahu bahkan Oji, sahabatnya sendiri mengenai keberadaan rumahnya. “Sejenis macan tertidur di dalam dirinya”. Yang orang lain tidak pernah tahu apa yang salah dengannya. Para guru sudah capek hati mengomel padanya. Ulahnya yang tak karuan dapat menembus pertahanan guru-guru yang sedang menjalankan puasa Senin-Kamis. Meskipun begitu, Ari dikenal dengan sifatnya yang tidak pelit dan setia pada teman-temannya. Hal paling mengagetkan lagi adalah Ari termasuk jajaran siswa yang masuk peringkat 10 besar di kelasnya yang notabenenya adalah kelas unggulan itu. Padahal biasanya, biang onar identik dengan bodoh. Kenyataannya, Ari membuat pengecualian dalam hal itu. (hlm.16)

Kedua gadis yang dijadikan sandera saat tawuran telah dibebaskan, karena tunduknya seorang Ari pada anak-anak SMA Brawijaya. Hal yang langka, namun apa boleh buat. Meskipun Ari pembuat onar, ia tidak pernah mau melibatkan wanita dalam tawuran. Prinsip itu selalu dipegangnya teguh. Sama halnya seperti Angga. Namun, aksinya yang memboyong kedua siswi itu ke sekolahnya, sekonyong-konyong menjadi pertanyaan besar bagi Ari. Tatapan mata Angga yang tajam seolah-olah menunjukkan aksi “perang” tersebut sebagai dendam pribadi secara tak langsung yang tak diketahui atau mungkin terlewatkan oleh Ari.

Selidik punya selidik, ternyata Ari dan Tari, demikian nama gadis berpernak-pernik oranye itu, memiliki satu rahasia besar. “Lo percaya nggak kalo gue bilang kita berdua kayak benda dan bayangan? Lo bayangan gue dan gue bayangan elo,” ucap Ari pelan mulai mengatakan bagian prolog. Jingga Matahari (Tari) dan Matahari Senja (Ari). Bukan terlalu melankolis, tetapi kemiripan nama itu mendasari Ari harus memiliki Tari seutuhnya. Dia beranggapan bahwa Tari itu adalah soulmate-nya. (hlm. 98)

Ari yang selama ini tidak peduli dengan wanita, tiba-tiba saja berusaha mendapatkan Tari dengan cara apapun. Kontan, berita itu mengguncang satu sekolahan. Terutama sekelompok siswi yang menyebut diri mereka “The Scissors” yang digawangi oleh Veronica. Tatapan sinis dan kecaman dari Vero and the genk tidak menggoyahkan tekad Ari.Segala cara dilakukan Ari untuk memikat hati seorang Tari. Namun, hal itu tidaklah mudah. Dulu, Tari memang sangat mengagumi Ari sebagai “dewa penolongnya”, saat Ari dengan gentle-nya melindungi Tari dari sengatan sinar matahari pada waktu upacara. Namun sekarang, semakin Ari berusaha mendekatinya, semakin mati-matian Tari menjauhkan diri. Predikat buruk Ari jelas membuat Tari tidak ingin berurusan dengan lelaki itu. Ditambah lagi, Angga, musuh bebuyutan Ari juga melaksanakan aksi pedekate terhadap Tari. Angga bertekad mendapatkan gadis itu, demi membalaskan dendam masa lalunya kepada Ari. Baik Ari maupun Angga saling 'kejar-kejaran' dalam bersaing untuk menjadikan Tari sebagai pacar. Sikap baik dan sabar yang ditunjukkan Angga jelas lebih menggetarkan hati Tari dibandingkan sifat pemaksa dan keras dari Ari. Hal ini sontak menggelakkan amarah Ari. Ia terus melancarkan serangan-serangan pada Angga. Namun, Angga tetap tersenyum menghadapi segala tindak-tanduk Ari dan puas karena “jebakannya dimakan”.

“Sepupunya Angga ada di kelas sepuluh tiga. Cewek. Namanya Anggita Prameswari,” ucap Ridho pelan. Senyum simpul seketika mendarat di bibir Ari. Ia menjadikan Gita sebagai pion agar Angga mundur melawan Ari. Karena itu, Angga tidak bisa lagi berkomunikasi langsung dengan Tari. Tari bingung dan sedih saat tahu tentang itu. Ia tidak tahu lagi siapa yang akan menjadi sandarannya apabila teror-teror lainnya dilancarkan oleh Ari.

Tanpa disengaja atau tidak, kembali Tari bertemu dengan sosok yang sangat mirip dengan Ari di foodcourt, bahkan mungkin lelaki itu adalah Ari. Namun, setelah terjadi pembicaraan diantara keduanya, tahulah Tari bahwa lelaki itu adalah kembaran Ari yang bernama Ata. Satu lagi surprise buat Tari. Lelaki itu bernama Matahari Jingga, kebalikan dari namanya sendiri. (hlm.213)

Sejak saat itu, Ata menjadi batu sandaran bagi Tari. Semua masalah Tari yang didominasi oleh perlakuan Ari selalu dibagikannya dengan Ata. Ari pun tidak terima dengan hal itu. Sampai pada saat Tari datang ke sekolah dengan mata sembap…

***

TERTEBAKKAH ending-nya? Esti Kinasih kurang memberi apresiasi yang baik tentang konflik dalam novelnya tersebut. Terkesan menggantungkan cerita. Ternyata tindakan Ari yang menghalalkan segala cara itu adalah sebuah awal teror. Pemandangan pada pagi hari saat Tari muncul dengan kedua mata sembap -Ari tidak bisa mengenyahkan bayangan itu dari kepalanya- merupakan awal sebuah elegi. Sampai detik ini, pagi itu terus membayangi dan membebani pikirannya. Karena itu, akan terus diganggunya Tari. Sampai kedua bibir gadis itu terbuka dan mengatakan penyebabnya….

Membaca novel ini dapat mempertajam nalar pembaca karena banyaknya teka-teki yang tersurat ataupun tersirat di dalamnya. Seperti yang dikatakan sebelumnya, novel itu memberi kesan penasaran yang luar biasa hebat pada para pembaca. Karena novel Jingga dan Senja ternyata memiliki kelanjutan cerita yang nantinya akan dituangkan pada novel kedua yang berjudul Jingga Dalam Elegi. Tak heran bahwa penulis mendapat acungan jempol dari berbagai pihak. Penggunaan kosa kata dan gaya bahasa yang bagus, menarik, dan tidak membosankan membuat karyanya disukai banyak orang. Pendeskripsian watak tokoh dalam cerita sangat jelas dan dapat dibayangkan oleh para pembaca dengan kombinasi imajinasi dalam diri tentunya.Ide cemerlang yang dimiliki oleh gadis dengan impian dapat mendaki Puncak Himalaya ini, tetap tidak boleh dipandang sebelah mata. Pemikirannya yang cerdas mampu menimbulkan konflik batin mendalam yang berkepanjangan bagi setiap orang yang membaca karyanya. Setiap harinya, lebih dari ratusan bahkan ribuan orang yang berbeda di salah satu forum diskusi dunia maya selalu mempertanyakan waktu terbitnya novel Jingga Dalam Elegi. Dua grup yang menamakan diri mereka Jingga Matahari Senja (JMS) & Ekspresi Menulis Berkarya dan Untaian Harapan (EMBUN) tak henti-hentinya berdiskusi atau sekedar membahas prediksi cerita selanjutnya. Bagaimanapun, itu merupakan sesuatu yang tak boleh dipandang sebelah mata.




Resentator: Putri Septika Silitonga (Putri Blupopo Bipbipbip)

Sabtu, 04 Juni 2011

Jingga Untuk Matahari (my creation) part 1



Tari menatap jalanan lurus dihadapannya dengan rasa bingung da sedikit takut. Ia tidak mengerti apa maksud Ata berkata demikian padanya. Sosok Ata kini sudah tidak tampak lagi Hening tercipta ditengah rasa kalut Tari yang menguasai dirinya.
            “Tar, lo kenapa? Lo ngelamun ya?” sebuah suara mengagetkan Tari. Ia serta merta menoleh ke belakang dan mendapati sosok Ari yang duduk manis di atas motor hitamnya dengan raut wajah penasaran. Ya, itu sudah pasti Ari, bukan Ata.
            “Apa? Eh..eng..enggak kok, kak! Saya nggak kenapa-napa.” Jawab Tari terbata seperti orang kikuk. Awalnya dia ingin memberitahu Ari tentang ancaman aneh Ata. Namun niat itu segera diurungkan Tari. Ia tidak mau merusak hubungan dua saudara kembar yang baru dipertemukan lagi setelah sekian tahun terpisah itu. Lagipula Tari yakin, pasti ada alasan  mengapa Ata melakukan hal demikian. Ata yang tadi dilihatnya sangat berbeda dengan sosok Ata yang ramah dan murah senyum sewaktu bertemu di bandara. Tari jelas sama sekali belum mengetahui bagaimana Ata. Apakah itu pribadi Ata yang sebenernya? Mengapa sangat berbeda dengan ‘Sifat Ata’ yang selama ini dipakai Ari saat melakukan sandiwara di depan Tari?
            “Tar, Kok bengong lagi sih? Lo sakit ?” Suara Ari lagi-lagi menyentakkan lamunan Tari. Tari baru sepenuhnya sadar bahwa Ari ada di depan rumahnya pagi ini.
            “ Oh ya, Kak Ari ngapain pagi-pagi gini udah ada di depan rumah saya?”
            “ Ya gue mau jemput lo ke sekolah lah, eh lo nya dari tadi bengong gak jelas. Udah lah cepet naik ! ini udah mau jam setengah tujuh, nanti telat lagi. Kalo gue mah gak apa, udah blacklist. Tapi kalo lo yang telat bisa repot urusannya.” Jawab Ari panjang lebar.
            Tari melirik arloji barunya yang berwarna oranye. “ya ampun bener juga. Yuk cepetan kalo gitu” Tari berujar panik lalu  segera menaikki boncengan motor Ari. Tak lama, motor hitam itu sudah melesat cepat melawan deru angin di jalanan kompleks yang belum terlalu ramai. Tanpa mereka sadari, sepasang mata sedari tadi terus mengawasi mereka.
            “ Maaf, tar. Harusnya memang lo gak terlibat. Tapi gue gak bisa apa-apa. Lo sendiri udah milih untuuk masuk dalam lingkaran semu yang bahkan gak lo mengerti. Gue gak tau entah sejak kapan, tapi sepertinya lo udah jadi seseorang yang begitu penting buat saudara kembar gue.” Batin Ata sambil menghela nafas dengan raut wajah lelah.
***
            Motor Ari memasuki area sekolah. Pagi itu, SMA Airlangga sudah ramai oleh murid-muridnya. Ari memarkirkan motornya persis di sebelah motor milik Oji. Tak jauh dari Ari dan Tari, Oji yang saat itu sedang bersama dengan Eki langsung menghampiri Ari dengan heboh.
            “Wah.. Wah.. Pengantin baru udah akur lagi nih kayaknya”
            “ Iya nih Ji. Dua matahari yang sedang dimabuk asmara.” Sambung Eki dengan kata-kata noraknya. Tari yang kesal dengan candaan dua kakak kelasnya itu menunduk malu sambil mengutuk-ngutuki Oji dan Eki dalam hati.
            “ Lo tuh yang mabok!” Jawab Ari sambil menoyor kepala Oji dan Eki bergantian. Namun disertai tawa pelan.
            “ Eh, ki. Si bos sok-sokan gak mau ngaku, tapi mukanya sumringah gitu. HahaHaha... Liat aja deh pagi ini. Ari rapi kinclong gitu, pakai seragam lengkap lagi ke sekolah. Kan gak biasanya tuh!” seru Oji.
            “Emang kemarin-kemarin Ari ke sekolah gak pakai baju gitu? Wah.. parah lo Ri. Pantes cewek satu sekolah semua ngejar lo.” Kata Eki dengan goblok yang dibuat-buat.
            Oji yang gemas langsung melayangkan tinju ke arah Eki. “yee... begok!! Maksud gue selama ini kan Ari itu suka se enak jidatnya. Kadang pakai seragam, kadang pakai oblong, kadang Cuma pakai singlet doang, malah pernah dengan pede-nya mengsinkronkan antara seragam sekolah dan celana jeans. Bukan sama sekali gak pakai baju ke sekolah OON!!” kata Oji dengan gaya sok mengajari.
            Ari yang menjadi ‘objek dan topik’ utama pembicaraan malah tertawa keras hingga bahunya terguncang pelan. Sedang tari yang berdiri di sampingnya tetap diam, sambil tak sabar untuk menuju kelasnya.
            “ Udah.. Udah. Tari mau masuk kelas. Jangan digodain mulu ah.” Kata Ari smbil memegang pergelangan tangan Tari dan menariknya lembut. “ Lo berdua bawain tas gue ke kelas!” kata Ari dengan gaya nge-bossy lalu meninggalkan Oji dan Eki, setelah melempar tasnya yang dengan sukses menghantam dada Eki.
            “ Yee... gak asik lu bos! Cepet banget sih selesainya!” Oji pura-pura protes karena komedi singkatnya di pagi hari harus berakhir.
            “iya nih, mana gue ditimpuk tas.” Sahut Eki meringis pasrah. Tapi ari tidak perduli. Ia terus saja berjalan meninggalkan Oji dan Eki yang masih melanjutkan aksi ‘ sok protesnya’ yang tidak penting. Ari memegang tangan Tari yang dari tadi hanya pasrah oleh ocehan Eki dan Oji.
            Sesampainya di mulut tangga menuju kelas Tari, Ari melepas genggaman tangannya. Ia berbalik menghadap Tari dan tersenyum tipis. “ Lo gue antar sampai sini gak apa kan? Bel masih 10 menit lagi. Lo gak akan telat masuk kelas kok. Jadi, gue gak perlu bersilahturahmi dulu sama guru yang masuk di kelas Lo. Bisa?”
            “ Iya kak, gak apa kok, makasih ya udah jemput saya tadi. Saya bisa sendiri kok” jawab tari lega karena tidak harus menerima tatapan tanya dan penasaran dari orang-orang satu kelas lagi. Bukan apa-apa setiap ari muncul di samping tari, semua hal pasti akan menjadi objek pembicaraan seru bagi anak-anak.
            “ Oke kalo gitu” jawab ari sambil menepuk pelan pundak Tari. Ari pun berlalu menuju ke arah kelasnya sendiri.
***
            Sementara itu, di sekolah yang berbeda seorang cowok sedang duduk merenung dalam diam. Sambil memegang handphone yang sedari tadi hanya ia pandangi tanpa digunakan, pikirannya jauh melayang ke SMA lain yang berkilo meter dari tempatnya saat ini. Sosok seorang cewek dari tadi terus saja menari di benaknya. Cewek dengan senyum ceria yang terkadang menangis ketakutan di hadapannya. Cewek yang pada awalnya hanya menjadi objek penting untuk balas dendamnya. Ia mendengus kesal sambil memaki diri sendiri dalam hati. Kenapa ia menjadi lupa pada misi awalnya dan membawa perasaan ikut campur dalam misi itu.
            “ tenang aja tar, gak akan lama lagi  gue akan kembali muncul di hadapan lo. Gue akan kembali menjalankan tugas yang sempat gue tinggalin. Tugas sebagai ‘pelindung’ lo dari si brengsek Ari!”
***
            Bel isitirahat SMA airlangga berbunyi panjang. Murid-murid menarik nafas lega karena akhirnya bisa juga melepas penat dari tiap mata pelajaran yang membosankan.
            Diruang kelas 10-9, murid-muridnya sudah tidak sabar untuk berpindah ke area kantin atau sekedar ngantri di toilet sekolah. Tari sendiri masih sibuk dengan buku catatannya.
            “ Fi, bentar ya. Gue nyatat yang di papan tulis dulu. Tanggung nih!” kata tari kepada teman sebangkunya itu.
            “iya iya gue tungguin tapi cepetan ya tar!” jawab fio sambil memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
            Tari kemudian sibuk memindahkan salinan di papan tulis ke buku catatan, tari memang agak lambat dalam hal menulis. Jadi terkadang dia harus rela mengorbankan jam istirahat untuk melanjutkan catatan yang belum selesai, atau malah meminjam buku catatan temannya. Tak lama kemudian tari yang telah selesai mencatat mendesah lega. Ia meregangkan tangannya yang sedikit pegal lalu menutup buku catatan. Diraihnya pergelangan tangan Fio yang masih duduk menunggu di sampingnya. Tanpa menoleh tari bangkit berdiri dari kursi dan menarik tangan fio.
            “Yuk gue udah selesai! Laper banget nih. Entar kantin penuh kita gak dapat tempat lagi.” Kata tari. Fio yang di ajak berbicara malah diam aja, dan tidak beranjak dari tempatnya. Tari yang sudah sangat lapar menjadi sedikit kesal ‘Fio apa-apa an sih?, dia yang ajak dia yang lama!’ batin tari dalam hati. Tapi tunggu dulu, kenapa serasa ada yang beda? Kok tangan Fio ..... ?? tari yang merasa janggal langsung balik badan dan ......
            “ Ka Ari? Kok ?” tari kebingungan melihat sosok ari yang sudah duduk tenang di bangku Fio entah sejak kapan. Si empunya bangku sendiri malah sedang berdiri pasrah sambil angkat bahu saat di pelototin tari.
            “ jadi lo laper? Ya udah yuk ke kantin bareng gue!” jawab ari santai.
            Tari yang sadar bahwa ia masih memegang tangan ari, langsung kelimpungan dan langsung melepas genggamannya. “ ma ... maaaf ka, saya gak....” belum sempat tari berbicara ari sudah kembali menyambar tangannya. “ loh, tadi lo yang ngajakin? Orang yang udah buat janji ama gue tidak di perkenankan untuk ngebatalin begitu aja, ayo!”
            Muka tari yang sudah se-merah kepiting rebus hanya bisa pasrah saat ditarik asri keluar kelas, fio yang menyaksikan semuanya hanya bisa menatap ‘ meminta maaf’, sambil berusaha mati-matian menahan tawanya. Bukan apa-apa, sikap tari tadi memang kocak banget. Apalagi hal itu, dia lakuin ke ari yang notabene adalah pasangan berantemnya di sekolah. Beberapa murid yang tadi masih tetap di kelas juga menyaksikan semuanya dengan tatapan lucu dan senyum geli.
***