Sabtu, 11 Juni 2011

Jingga Untuk Matahari (my creation) part 3


           
            





            Ari melirik arloji di tangannya. Jam menunjukkan pukul 16.00. Ari tersenyum tipis lalu buru-buru keluar dari kamarnya yang ada di lantai 2. Dengan langkah ringan, ia menuruni anak-anak tangga rumahnya yang mewah itu. Seperti biasa, tak ada orang lain di rumah selain Ari. Seminggu yang lalu, Ari memang bertemu dengan papanya. Namun, sekarang ia kembali tak tau ayahnya sedang berada dimana. Memang selalu begitu. Saat Ari ada di rumah, papanya tidak. Tapi saat papanya ada di rumah, malah Ari yang entah kemana. Dan meskipun mereka sedang bersama-sama berada di rumah, hampir tidak ada komunikasi yang terjadi. Jadi dapat dipastikan, rumah itu bahkan lebih sepi dari hutan belantara.
            Namun sore ini, Ari tidak peduli tentang bagaimana sepinya keadaan rumah yang ia tempati itu. Pikirannya saat ini hanya dipenuhi oleh isi sms mamanya tadi malam. Mamanya dan Ata akan tiba di Jakarta sore ini. Itulah mengapa dari tadi semenjak di sekolah pun Ari sudah tidak sabar untuk menjemput mama dan Ata di bandara. Sebenarnya, mama dan Ata tiba sejam lagi. Namun, Ari yang sudah sangat ingin bertemu mamanya, tidak ingin datang terlambat untuk menjemput.
            Ari mengeluarkan mobil dari garasi. Everest hitam yang juga punya banyak kenangan bersama Tari. Ia mengendarai mobil dengan hati yang sudah sangat ingin meluapkan rasa rindu dan tak sabar ingin bertemu mama dan Ata.
             Akhirnya, Ari tiba di bandara 15 menit sebelum pesawat yang membawa dua orang yang sangat ia sayangi itu tiba. Ari memutuskan untuk duduk dan menunggu sambil ditemani sebuah minuman kaleng merek terkenal.
            Lima belas menit berlalu. Ari berdiri dengan tak sabar dan memperhatikan setiap penumpang pesawat yang baru saja keluar dari pintu bandara kedatangan dalam negeri. Senyumnya seketika melebar saat mendapati sosok mama dan Ata yang berjalan ke arahnya.
            “Udah lama nunggu, Ri?” Tanya mama ketika sudah berjarak sangat dekat dengan Ari. Didekapnya kembar bungsunya itu dengan erat.
            “Nggak kok, ma..’ jawab Ari yang langsung menyambut dekapan hangat dari sang mama.
            “Kamu sehat, nak?” Tanya mama lagi sambil mengusap pipi Ari lembut.
            “Sehat dong. Mama juga, kan?”
            Mama mengangguk pelan sambil tersenyum. Sorot matanya menggambarkan kerinduan yang dalam pada salah satu putra kembarnya itu.
            “Oh… Jadi gue dicuekin nih?” Ata tiba-tiba nimbrung sambil belagak ngambek.
            “Hahhaha.. Kangen lo yah ama gue??” kata Ari pede. Lalu merangkul Ata.
            “Wah… Pede amat lo!” jawab Ata sambil tertawa geli. Mama hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah lucu dua putra kesayangannya itu.
            “Ya udah.. yuk! Tante Lidya dari tadi udah ngeSMS. Dia udah masak banyak untuk mama ama lo!” kata Ari kemudian.
            Tak lama, ibu dan dua anak kembarnya itu berjalan menuju mobil. Mereka pun menuju ke rumah tante Lidya , yang dari tadi sudah menunggu 3 orang yang sudah ia anggap keluarga itu.
            Kedatangan mama dan Ata ke Jakarta memang membuat Ari sangat girang. Apalagi, mamanya kemudian memberi tahu bahwa ia dan Ata akan kembali menetap di Jakarta. Agar mereka bisa lebih sering bertemu dan lebih dekat dengan Ari.
            Untuk itu, Ari sudah mencarikan sebuah rumah untuk Ata dan mamanya. Rumah yang tidak jauh dari kompleks perumahan tante Lidya. Rumah itu berukuran tidak terlalu besar. Hanya terdiri dari 2 kamar tidur. Ada sebuah taman kecil di halaman depannya dan dilengkapi pagar yang tidak terlalu tinggi. Rumah itu sendiri akan ditempati mama dan Ata mulai minggu depan. Jadi untuk sementara, mama dan Ata akan tinggal di rumah tant Lidya.
            Awalnya, Ari menyodorkan sebuah rumah yang lebih bagus. Namun, mamanya menolak. Mama lebih memilih untuk tinggal di rumah kontrakan yang tidak terlalu luas itu. Ari pun hanya bisa menuruti kata-kata sang mama. Dan setelah dilihat-lihat, rumah itu memang cukup enak untuk ditinggali. Kompleksnya tidak terlalu dekat dengan jalan raya. Sehingga, tidak terlalu bising oleh suara kendaraan. Rumahnya juga cukup sejuk dan asri. Dan yang paling penting adalah ada kehangatan seorang ibu di dalamnya. Ada rasa nyaman dari sebuah keluarga, yang selama ini tidak pernah didapatkan Ari dari rumah mewahnya di SISTINE.
            Dari awal Ari memang belum berniat untuk membawa mama dan Ata untuk pulang ke rumah.nya di SISTINE. Ia menunggu waktu yang tepat untuk mempertemukan kembali papanya dengan mama dan Ata. Namun, Ari sudah sangat senang karena mama dan Ata kini sudah bisa kembali tinggal di Jakarta. Paling tidak, ia masih bisa tinggal bersama mama dan Ata di rumah kontrakan yang baru, atau pulang balik rumah papa dan mamanya.
            Ata sendiri akan pindah sekolah ke Jakarta. Ari sebenarnya menawarkan agar Ata juga bersekolah di SMA Airlangga sama sepertinya. Namun, Ata lebih memilih untuk bersekolah di SMA lai, untuk menghindari kegemparan sperti yang terjadi beberapa waktu lalu, saat Ari mengajaknya berkunjung ke Airlangga.
            Jadilah Ari saat ini seolah menemukan kembali dirinya yang sebenarnya. Ari yang punya keluarga, Ari yang bisa merasakan kembali kasih sayang dan kehangatan seorang ibu, Ari yang punya saudara kembar yang lama hilang, Ari yang tak lagi kesepian seperti dulu, dan Ari yang menemukan senyum dan tawanya kembali. Bukan senyum dan tawa yang biasa ia gunakan sebagai ‘topeng’ di depan orang lain. Tapi, senyum dan tawa yang sebenarnya.
***

            Jam menunjukkan pukul 6 sore lewat. Ari dan Ata pamit pada mama dan tante Lidya untuk keluar rumah. Ari mengajak Ata untuk bermain futsal bersama Oji, Ridho dan teman- teman nya yang lain. Oji sendiri tadi sudah mengirim SMS pada Ari, bahwa ia sudah tiba duluan di tempat futsal.
            Sebelum-sebelumnya, Ari sering mengajak teman-temannya bermain futsal untuk memecah kesepian dalam dirinya dan membuang kepenatan yang ada. Bermain hingga larut malam untuk menghindari kata ‘pulang’, karena memang tak akan menjumpai siapapun di rumah.
            Namun, kali ini berbeda. Ari mengajak teman-temannya bermain futsal, dan sudah janji akan mentraktir makan setelah itu, untuk merayakan kedatangan mama dan Ata ke Jakarta. Oji dan Ridho sendiri, sudah diberitahu Ari tentang kabar kepindahan Ata dan mamanya.
            Mobil terus melaju di jalanan yang tidak terlalu macet. Ari mengendarai mobil tidak terlalu kencang.
            “Lo udah jadian sama dia?” Tanya Ata tiba-tiba pada Ari. Ari yang terkejut dengan pertanyaan Ata, sedikit mengerem mobil mendadak.
            “Maksud lo?” Ari balik bertanya saat laju mobil telah kembali stabil.
            “Tari… Cewek yang kemaren lo kenalin ke gue dan mama di bandara. Lo pacaran ama dia?” Ata mengulang pertanyaan dengan lebih jelas.
            “Kok lo mikir gitu?”
            “Soalnya, lo keliatan care banget ama tuh cewek.”
            “Kenapa? Cemburu lo?” ujar Ari dengan mimik muka lucu.
            “Wahhh… Cemburu ama lo? Kagak deh ya!” jawab Ata sambil tertawa. “Gue serius ini, Ri…”
            “Gue belum jadian ama Tari.” jawab Ari jujur.
            “Tapi kayaknya udah keliatan deket banget.”
            “Emang keliatan gitu ya? Gue juga nggak tau sejak kapan perasaan gue ke dia muncul. Waktu pertama ketemu, gue kaget karena dia punya nama yang sama ama lo. Gue putusin untuk deketin dia dengan segala cara, supaya gue bisa menghidupkan kembali mama dan lo melalui Tari. Awalnya semua gue lakuin ‘pure’ karna gue kangen ama lo dan nyokap. “ ujar Ari panjang lebar sambil mengingat kembali awal mula pertemuannya dan Tari.
            “Jadi , lo nggak beneran suka ama dia? Hanya karna sebuah nama yang kebetulan sama aja?”
            “Awalnya gue nggak sadar.. Tapi semua kemudian berubah. Gue jadi ngerasain hal yang sebelumnya nggak pernah gue rasain. Dia bisa banget buat gue jadi nggak karuan dan nggak bisa ngontrol emosi gue. Mungkin kedengarannya lebay banget. Seorang Ari kayak gue bisa kayak gitu hanya karna seorang cewek yang tiba-tiba nongol dengan menyandang nama ‘Matahari’.” ujar Ari mendengus geli.
            “Gue udah denger track record lo yang buruk!” ejek Ata bercanda. Ari ikut tertawa.
            “Beberapa kali dia nunjukin sikap penolakan yang terang-terangan ama gue. Dia sering banget menghindar dari gue dan marah-marah ama gue di depan umum. Tapi gue tetep bandel untuk deketin dia. Sampe akhirnya, sekarang dia udah mulai nggak ‘lari’ lagi dari gue.”
            “So, sekarang lo bakal ngapain?”
            “Yang gue tau, sekarang gue pengen dia jadi milik gue. Gue pengen ngelindungin dia, nggak buat dia nangis lagi, dan ngejagain dia.” kata Ari dengan intonasi suara yang tegas.
            “Itu bener… Mulai sekarang lo emang harus lebih menjaga Tari” ujar Ata pelan.
            “Maksud lo?” Tanya Ari bingung.
            “ Yah.. biar dia nggak lari lagi dari lo.. Jadi lo harus lebih jagain tuh cewek!” ujar Ata ngeles.
            Tak lama kemudian mobil Ari pun berhenti. Mereka sudah sampai di tempat futsal indoor yang biasa dipakai Ari dan teman-temannya. Motor Oji sudah tampak parkir di sana.
            Pembicaraan pun selesai sampai disitu. Tanpa Ari, pentolah sekolah itu tau bahwa saudara kembarnya sendirilah yang sebentar lagi akan membuat ‘Jingga Matahari’ nya menangis.
***

            Tari membolak-balik buku kimianya dengan gusar. Sudah sejak tadi ia berkutat di meja belajar dengan ditemani tugas-tugas mata pelajaran kima yang menumpuk. Entah mengapa malam ini Tari nggak bisa konsen dengan pelajarannya. Ia memang bisa dibilang ‘payah’ dalam mata pelajaran eksak yang satu ini. Tapi biasanya, dia masih bisa mengerjakan paling tidak setengah dari jumlah soal yang diberikan. Yah, walaupun tidak menjamin semua soal yang dikerjakan benar.
            Soal-soal tentang ‘kesetimbangan reaksi’ itu jadi semakin tidak menarik karena seseorang yang dari tadi terus saja muncul di dalam pikiran Tari. Sosok pentolan sekolah yang menempatkan diri pada puncak piramid hierarki kesiswaan SMA Airlangga. Raja tawuran yang tidak pernah takut dengan medan tempur yang penuh bahaya. Siswa paling bermasalah di sekolah dan kerap berbuat seenaknya, serta tidak pernah peduli pada omelan dan hukuman dari guru-guru bahkan kepala sekolah.
            Saat ini, hubungan Tari dan Ari makin membaik. Tidak pernah lagi ada tontonan gratis berjudul ‘duel Ari-Tari’ di sekolahan. Ari pun kerap mengantar-jemput Tari ke sekolah. Pemandangan Tari yang dijaili oleh Ari dan teman-temannya pun tidak pernah terlihat lagi. Hal itu kontan saja menimbulkan pertanyaan bagi seluruh siswa SMA Airlangga, apakah dua ‘Matahari’ itu sudah resmi jadian atau belum. Semua memang hanya bisa dijawab oleh Ari dan Tari sendiri.
            Tari tak bisa bohong kalo kini Ari memang banyak berubah. Dan perlahan mulai disadarinya, bahwa ada sesuatu yang berbeda dengan hatinya saat ini. Perlahan tapi pasti pula, jagoan sekolah itu telah kembali mendapatkan tempat dihatinya. Ia bisa merasakan hal yang sama, seperti pada saat Ari bertindak sebagai ‘pahlawan’ dan menolongnya saat pertama bertemu dulu. Ia kembali pada penilaian awalnya bahwa ‘Ari itu sebenarnya baik’. Tari bisa merasakan ada bagian yang luruh dalam hatinya jika melihat Ari atau berada di dekat Ari. Ia bisa merasakan jantungnya memompa lebih cepat, saat Ari melakukan hal-hal tak terduga.
            Seperti seminggu yang lalu saat Ari tiba-tiba mendekapnya menuju taksi, sepulang sekolah. Saat itu hujan, jadi Ari membiarkan Tari pulang naik taksi agar tidak kebasahan jika diantar pulang dengan motor. Atau saat  Ari memasangkan jaketnya pada Tari, agar Tari tidak kepanasan sewaktu dibonceng naik motor.  Tapi yang paling membuat Tari salah tingkah adalah peristiwa tiga hari yang lalu.

            Tari stress berat karena  nilai ujian matematikanya anjlok banget. Ia seharian duduk di kelas dan bahkan tidak pergi ke kantin pas jam istirahat. Ari yang tau kalo Tari suka ice cream, langsung cabut pas jam pelajaran ke 5. Ia membeli ice cream satu cup gede banget, yang pastinya mahal dan enak. Ia mem berikan ice cream itu pada Tari pas jam istirahat ke-2. Setelah meletakkan ice cream di atas meja, Ari mengacak-acak rambut Tari lembut dan tersenyum sambil bilang, “ Lain kali, kalo belum ngerti Tanya gue aja. Ntar gue ajarin sampe bisa.” Melihat tindakan Ari itu, kontan saja semua temen cewek Tari satu kelas pada iri banget. Dan mungkin dalam hati masing-masing pada teriak “GUE RELA MATI DEMI KAK ARI!” ^^ Ya iyalah.. Siapa juga yang nggak mau dikasih ice cream mahal segede gitu? Udah gitu, dijanjiin bakal diajarin matematika pula! Dan yang ngelakuain adalah ARI! Cowok paling TOP satu sekolahan!
            Lamunan panjang Tari tiba-tiba buyar karna suara ketukan pintu dari luar. Pintu kamar itu terbuka, dan mama Tari kemudian masuk ke dalam.
            “Lagi belajar?” Tanya mama lembut.
            “Iya, Ma” jawab Tari sambil mengangguk pelan.
            “Ada tamu tuh di luar..”
            Kening Tari berkerut. Heran. Siapa tamunya yang datang malam-malam begini?
            “Siapa, Ma?”
            “Liat aja tuh ke depan!” ujar mamanya lalu langsung keluar dari kamar yang serba oranye itu.
            Tari yang saat itu hanya mengenakan kaos rumah dan celana pendek di atas lutut, langsung bergegas mencari tau siapa gerangan tamunya itu. Awalnya, Tari mengira pasti Ari yang datang. Namun kemudian, ia menjadi tak yakin. Soalnya, kalo Ari yang datang, mama pasti langsung nyebut nama ‘Ari’ waktu dia Tanya siapa yang datang.
            Begitu sampai di teras rumah, Tari kaget setengah mati melihat cowok yang sudah duduk menunggunya di kursi teras. Cowok itu berdiri dan tersenyum kecil saat Tari sudah muncul di hadapannya.
            “Angga???” pekik Tari dengan suara tertahan. Yang bisa ia rasakan saat ini adalah kaget, kikuk, dan tidak percaya yang bercampur aduk menjadi satu. Ia jelas tidak menyangka Angga datang ke rumahnya malam-malam begini. Apalagi, rasa kagetnya belum hilang dengan kemunculan Angga di dekat sekolah beberapa hari yang lalu.
            “Bisa bicara sebentar?” Tanya Angga yang juga jadi salah tingkah. Tari hanya mampu menjawab pertanyaan Angga itu dengan sebuah anggukan kecil, meski masih diliputi rasa bingung.
***

            “Lo apa kabar?” Tanya Angga memulai pembicaraan dengan canggung. Saat ini ia dan Tari sedang duduk di sebuah taman. Taman kecil kepunyaan kompleks yang letaknya tak jauh dari rumah Tari. Angga sengaja mengajak Tari ke sini agar dapat berbicara dengan lebih leluasa. Ada beberapa lampu penerang yang membuat keadaan taman tetap terang meskipun malam hari. Suasana taman itu sendiri memang cukup sepi saat malam hari seperti ini.
            “Baik. Lo?” Tari menjawab dengan ikutan canggung juga. Tak bias dipungkiri. Tidak bertemu dalam waktu yang cukup lama dan tanpa komunikasi sama sekali, membuat Tari dan Angga jadi seperti orang asing yang baru saling mengenal. Apalagi kepergian Angga pada waktu itu didorong oleh ancaman Ari, ‘musuh bebuyutannya’.
            “Nggak tau” jawab Angga ringan. Tari yang bingung dengan jawaban itu menatap heran pada Angga. “Iya. Gue sendiri pun bahkan nggak tau gimana keadaan gue saat ini.” Ujar Angga lagi dengan senyum getir yang dipaksakan.
            Tari terdiam. Bukan dia mau secuek itu pada Angga. Tapi dia memang bingung mau ngomong apa.
            “Maafin gue, Tar!” kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Angga. Begitu pelan dan lirih, hingga Tari yang berada setengah meter darinya pun hanya bisa mendengar samar.
            “Maksud lo?”
            “Kemaren gue mundur begitu aja saat Ari ngancen gue soal Anggita. Padahal harusnya gue tetep di samping lo dan ngebantuin lo.”
            “Nggak pa-pa kok, Ga. Gue ngerti,” jawab Tari, lalu tersenyum.
            Kemudian lama mereka terdiam. Terdiam dengan pikiran masing-masing. Rasa canggung itu masih saja menyelimuti. Bahkan mereka jauh lebih diam dari suasana malam di taman itu. Entah tidak ada yang ingin dibicarakan, atau memang masing-masing harus beradaptasi kembali untuk bisa berkomunikasi seperti dulu.
            “Lo berubah, Tar…” Satu kalimat singkat. Hanya terdiri dari tiga suku kata. Tapi mampu memecah kesunyian yang sedari tadi mencekam. Mampu pula membuat Tari menjadi jauh lebih bingung dan lebih kaget dari sebelum-sebelumnya. Tari tersentak dan langsung menoleh kea rah Angga.
            “Apa?” hanya itu yang mampu Tari ucapkan.
            “Pulang-pergi sekolah bareng Ari, pas jam istirahat juga bareng, nggak pernah berontak lagi apalagi marah-marah kalo dia dateng ke kelas lo, bahkan  lo nurutin semua kata-kata tuh anak. Gue nggak nyangka semua bisa berubah secepat itu. Gue nyesel kenapa kemaren gue bego banget, milih untuk mundur dan nge-jauhin lo..” Angga terdiam sejenak. Ia menghela nafas panjang lalu berkata lagi “ Apa karena Ari?”
            “Maksud lo apa sih? Gue nggak berubah. Gue tetep kayak Tari yang sebelum-sebelumnya.” Ujar Tari, meski ia sendiri pun tak yakin dengan apa yang dia ucapkan.
             “Lo suka sama dia?” Pertanyyan Angga kali ini benar-benar dibidik tepat pada sasaran. Tari sontak terdiam. Diam karena kembali bingung bagaimana harus menjawab. Angga tersenyum getir. Lagi-lagi senyum pahit yang dipaksakan. “Udah gue duga. Dia emang ahli banget dalam hal satu ini”
            “Tar…” panggil Angga lembut. “Gue emang belum pernah bilang ini sebelumnya. Tapi…..” kalimat Angga menggantung. Ia terdiam sebentar lalu menoleh kea rah Tari. Ditatapnya mata cokelat tua cewek itu. “Gue suka sama lo, Tar. Gue sayang banget sama lo! “ kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Angga. Kata-kata yang kemudian mampu menciptakan rona merah di pipi Tari. Rona yang mungkin terlihat jelas dalam suasana taman yang cukup terang. Wajah Tari memanas. Biar bagaimana pu, Angga pernah begitu dekat dengannya.
            “Anggita gimana? Lo jangan nekat deh, Ga! Mungkin lo Cuma salah sangka aja sama perasaan lo ke gue.”
            “Maksud lo?”
            “Lo bukan khawatir soal Anggita. Tapi yang lo khawatirkan itu Ari. Iyakan? Jadi lo udah bener-bener suka sama dia?” Petanyaan Angga kembali membuat Tari kikuk. Bukan hanya karna dia untuk kesekian kalinya bingung harus menjawab apa. Tapi karna hati kecil Tari justru meng-iyakan semuanya.
            “Lo nggak usah khawatir, Tar! Gue akan memulai semuanya dengan car ague sendiri. Gue nggak peduli sekalipun lo udah punya perasaan khusus sama Ari.. Anggita itu urusan gue.” Angga kembali memberi jeda dan menarik nafas berat.  “Tapi, satu hal yang perlu lo tau. Gue tetep akan kembali dan mucul lagi dihadapan lo. Gue nggak peduli, meskipun itu bakal mengusik hidup si brengsek Ari.” Kata Angga mengakhiri pembicaraan.
            Ia kemudian mangantar Tari pulang. Dari awal Angga memang tidak berniat untuk mendengarkan jawaban dari Tari. Karena ini memang bukanlah sebuah penembakan romantis atau pernyataan cinta yang pada akhirnya hanya dua, ditolak atau diterima. Angga sudah memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kehidupan Tari. Dengan atau tanpa izin dari cewek itu.
***

            Tari masuk ke dalam kamarnya. Mala mini jadi terasa begitu membingungkan bagi Tari. Ada rasa kasihan pada Angga. Namun, bayangan Ari yang sedari tadi muncul dalam pikirannya, terasa begitu kuat mendorong Tari untuk langsung membangun tembok pembatas antara dirinya dan Angga.  Meskipun Angga yang dia lihat tadi tampak begitu rapuh dan tidak bersemangat. Yang Tari bingungkan adalah apakah semua yang diucapkan Angga tadi benar? Apakah sikap Angga tadi adalah ungkapan pernyataan cinta yang samar?
            Tari menarik nafas panjang sambil mencoba untuk menjernihkan pikirannya. Tari kembali duduk di depan meja belajarnya dan masih saja terdiam dalam situasi yang menyulitkan. Ia melirik sekilas ke arah handphonenya yang dari tadi tergeletak saja di meja belajar. Tari memutuskan untuk menelfon Fio dan sekedar curhat. Sepertinya, dia butuh teman untuk berbagi cerita malam ini. Dan dapat dipastikan Fio lah orang yang paling tepat. Meskipun Fio sendiri mungkin tak dapat membantu banyak.
            Tari mengerutkan kening heran saat melihat 3 panggilan tak terjawab di layar ponselnya. Saat dibuka, yang tertera hanya sebuah nomor yang tidak dikenal oleh Tari.
            Tak lama kemudian, handphone Tari berdering. Nomor yang sama dengan yang dia lihat pada panggilan tak terjawab tadi.
            “Halo…” sapa Tari singkat.
            “Hai, Tar!” orang diseberang menyapa balik. Terdengar suara cowok dari seberang telfon. Seketika Tari terdiam. Matanya menyiratkan sikap kewaspadaan yang tak dibuat-buat. Wajahnya menegang. Suara itu….. Dia kenal dengan suara itu. Meski belum begitu akrab dengan suara itu, tapi ia tahu betul. Intonasi mengancam yang tersirat jelas meskipun dalam ucapan-ucapan yang halus.
            “Ata?!?” seru Tari kalut.
            “Hebat…! Lo bahkan bisa ngenalin suara gue. Salut deh sama lo!” Puji Ata dengan nada mengejek.
            “Ada apa?” Tanya Tari dingin.
            “Suara lo kok cuek banget? Lo nggak seneng gue nelfon lo? Kalo Ari yang nelfon seneng? Sayangnya tuh anak lagi bermanja-manja ria ama nyokap gue..” Tari terdiam. Ia tak habis pikir mengapa Ata  jadi orang yang begitu aneh dan berbeda.
            “Gue Cuma mau ngasih tau lo kabar gembira. Kalo gue dan nyokap gue udah mutusin untuk tinggal di Jakarta lagi. Itu artinya, gue bisa lebih dekat lagi sama lo ‘saudari matahari’ gue  yang baru. “ ujar Ata santai. Tapi nada mengancam itu masih tetap tersirat.
            Seketika raut wajah Tari kembali menegang. Ia merasa tangannya dingin dan jantungnya berdetak begitu cepat. Entah mengapa, Ata menjadi sosok yang begitu menakutkan.
            “Nggak ada urusannya sama gue!” ujar Tari ketus. Ia tak tahu dapat keberanian darimana untuk ngomong kayak barusan. Tapi yang pasti, ia harus berusaha melawan Ata mulai sekarang. Karena bendera perang sudah dikibarkan lebih awal oleh Matahari Jingga itu.
            “Menurut lo, ini nggak ada hubungannya sama lo? Masa lo lupaama janji gue kemaren? Bukannya gue udah bilang kalo gue bakalan nge gangguin hidup lo mulai sekarang? Gue juga bakalan dengan senang hati untuk buat lo nangis! Sayangnya… gue nggak bakalan sekolah di Airlangga dan bisa lebih dekat lagi ama lo. Tapi, nggak pa-pa. Dengan gue pindah ke Jakarta aja, itu berarti gue udah satu step lebih dekat ama lo!”
            “Kenapa? Kenapa lo jadi aneh? Tanya Tari lirih.
            “Kenapa gue jadi aneh?” Ata mengulang pertanyaan Tari barusan. “Emang lo udah pernah mengenal gue sebelumnya? Gue emang begini kok!”
            Tari tersentak. Ia kembali membisu. Itu bener. Dia memang belum mengenal Ata. Hanya saja, Tari sering lupa kalo Ata yang sempat jadi bagian dari hidupnya kemaren adalah Ari. Ari yang menyamar jadi Ata. Ari yang dulu membohonginya dan menjadi dua orang berbeda hanya karna inginnya cowok itu melampiaskan kepenatan dalam dirinya  yang tidak Tari mengerti.
            “Sekarang ini, lo Cuma perlu ngucapin ‘selamat datang’ aja, Tar, buat hari-hari kesialan lo yang bakal datang sebentar lagi. “
            “Lo nggak punya hak untuk ganggu hidup gue! Lo pikir lo siapa?” bentak Tari yang sudah tidak tahan lagi.
            “Lo yang udah mutusin untuk ikut masuk ke dalam hidup Ari! Jadi lo juga harus ikut nanggung semua hal yang harusnya Ari rasain! Karna waktu udah buat begitu banyak hal jadi nggak bisa dimengerti, Tar! “ ujar Ata sinis. Tari bertambah bingung dengan pa yang diucapkan Ata barusan. Bingung dengan apa tujuan Ata yang sebenarnya. Ia kini tak mampu untuk berkata apa-apa lagi.
            “Gue rasa cukup. Gue Cuma mau ngomong itu doing. Gue harap lo bisa nyiapin mental dan pikiran lo dari sekarang!” kata Ata. “Oh ya, satu lagi… Kalo lo mau ngasih tau Ari soal ancaman gue ini, itu hak lo! Tapi gue  rasa lo cewek baik. Gue yakin lo nggak bakalan tega ngebiarin Ari terpuruk lagi karena ulah gue, saat dia udah mulai menata kembali mimpinya untuk punya keluarga yang bahagia. “ ujar Ata mengakhiri pembiacaraan.
            Begitu telefon diputus oleh Ata, Tari terduduk lemas. Pandangannya kosong. Ditahnnya butir-butir bening yang hampir tumpah dari pelupuk mata. Rasa takut, bingung, dan ketidakberdayaan berkumpul dan berkecamuk dalam hatinya. Belum lagi usai rasa risau karna kedatangan Ata, Angga sudah kembali datang dan memperkisruh suasana.
            Tak terpikirkan lagi oleh Tari tentang tugas kimianya tadi. Bahkan untuk tidur dan memejamkan mata saja sudah sangat sulit untuk dilakukan. Inikah tantangan yang baru dalam babak-babak kehidupan SMA Tari? Padahal baru saja Tari bisa menjalani hari-hari sekolah normal semenjak perubahan positif pada diri Ari.
            Apa yang harus diperbuat oleh Tari? Ia sendiri belum bisa menjawabnya. Tari kini hanya bisa terdiam dan pasrah pada semua yang akan ia hadapi. Ini bisa jadi adalah awal mula dari hari-hari berat yang kembali harus ia jalani. Hari-hari berat bersama ‘pahlawan pelindung’nya di waktu lalu dan dua ‘sosok matahari’ yang kini jadi terlihat benar-benar berbeda.

            Thanks a lot yah buat yang udah mau baca!!! ^^ Jangan bosen2 untuk ngikutin cerbungnya.. And krisan nya juga.. Oh ya, author juga pengen tau bagian mana yang palinga kalian suka dari part 3 ini. Biar author lebih tau lagi gimana ngembangin cerita berikutnya. Sekali lagi thank youuu!

BY : MERZ

4 komentar:

  1. lanjutin lagi dong..bagus !!:)

    BalasHapus
  2. iya, lanjutin dong ceritanya..oke bgt nih...
    part 2...like this..

    BalasHapus
  3. mana lanjutan ceritanya??
    bagus ini...

    BalasHapus
  4. lanjutin ceritanya donk min, bikin penasaran ni????

    BalasHapus